“Ada beberapa orang yang ketika kita
berbicara dengan sejuta kata pun, dia tak akan pernah mengerti. Namun di sudut
lain, akan ada orang yang mengerti kamu dengan sangat baik, bahkan ketika kamu
hanya diam.” Yasmin Mogahed
Ada orang yang sepandai apa pun saya
berusaha menyembunyikan sesuatu saya tidak pernah bisa membohongi mereka, yaitu Abik. Ibuk dan Teteh. Sejauh duapuluh dua tahun saya hidup, mereka adalah orang yang
tahu sesuatu bahkan yang tidak pernah saya ceritakan pada siapa pun. Bagaimana
bisa?
Sese orang memang terkadang tidak mengatakan
sesuatu dengan verbal, tapi kita cukup mudah membaca non-verbalnya. Tidak perlu
membaca buku materi psikologi yang tebalnya seperut gajah, kalau kita mengenal
dengan baik seseorang, kita akan mudah memahami apa yang tidak mereka katakan.
“Kau ada sesuatu?”
“Tidak.”
“Siapa yang coba kau bohongi?”
“Wkwkwkwk.”
Ini percakapan suatu hari via whatsapp
dengan sepupu perempuan saya. Mau enggak cerita sesuatu, akhirnya cerita juga.
Mungkin inilah yang dinamakan nyaman. Betapa indahnya dimengerti seseorang,
meskipun kita hanya diam. Dan mereka, adalah orang-orang yang tanpa minta pun
akan mendapat bagian di dalam hati kita.
Kalian sudah memilikinya? kalau belum,
carilah. Indah sekali memiliki orang yang seperti itu.
Several
weeks lately, saya dihadapkan perasaan-perasaan yang sukar didefinisikan. Tidak, ini
bukan cinta. Juga bukan patah hati. Entah. Mungkin efek kalau di Blitar ndak
ada teman yang berbagi banyak hal setiap waktu, seperti dulu di Surabaya.
Mungkin efek siklus harian, kerja berangkat pagi, pulang sore, udah capek,
ngantuk, habis itu ngasih les, baca buku dikit udah terlelap, besuk gitu lagi.
Mungkin, ah masih mungkin dan mungkin.
Semacam
otak saya dijejali pikiran-pikiran berat, pilihan-pilihan yang penuh
konsekuensi, dan lagi, tidak ada teman sebaya untuk berbagi (Di tempat kerja,
saya adalah terapis paling muda). Kesukaan aneh saya akhir-akhir ini adalah
pulang dalam keadaan hujan, pake mantel, moment menyimpan sepatu di dalam jok
motor, dan hanya berkendara dengan pakai kaus kaki. Aneh memang, ketika hampir
semua teman-teman terapis saya mengeluh ini itu ketika mendekati jam pulang, I enjoy that moment. Saya terlanjur
jatuh cinta pada hujan, no matter what!
Lain
kesempatan, kadang waktu diem, di kamar, mikir macam-macam, ingat macam-macam,
pada suatu ketika saya bisa nangis gitu aja (dasar sensitive!), atau ketika
pikiran tiba-tiba melanglang ke beberapa tahun terakhir, jadi senyum atau ketawa
sendiri. Entahlah, ini apa?
Saya
meskipun seorang kakak tertua dalam keluarga, Abik tak pernah memposisikan saya
dengan tanggung jawab besar seperti saya harus mengalah pada adik, saya harus
membimbing adik, saya adalah orang yang siap teraniaya, tidak pernah. Ayah
memposisikan semua anak sama, mungkin mereka sadar adik-adik saya tetap
tanggung jawab mereka untuk memberi contoh, bukan saya sebagai kakak. Sehingga
ketika seorang teman di asrama pernah kaget ketika tahu kalau saya anak pertama,
sepertinya wajar. Seolah saya bisa menebak pikiran teman saya itu, anak pertama
kok manja gini?
Nggak
tahu kenapa, belakangan, saya jadi terlalu paranoid akan banyak hal. Saya takut
sekali mengambil keputusan, saya sering seperti merasa terhakimi, dan terlalu
banyak berpikir ketika hendak melakukan sesuatu. Saya seperti takut akan
penolakan beberapa orang, dan saya tahu, ini bukan saya. Saya tidak pernah
(atau barangkali saya lupa kalau pernah) takut tidak diterima seseorang, atau
sekelompok orang, saya setidaknya di mata saya pribadi adalah orang yang cukup
berani di lingkungan seperti apa pun. Saya pernah berteriak-berteriak memanggil
polisi yang acuh ketika saya dan sahabat saya nita takut menyebrang (saya kena
marah nita karena ini). Saya pernah survey partai politik keliling gang, saya
pernah menjawab tanpa gentar anak-anak laki-laki di kereta yang terlalu banyak
tanya dan menganggu. Intinya, saya bukan tipe orang yang takut di dunia baru.
Lalu?? Entah.
Mungkin,
saya belum siap jika harus selalu tampil baik, mungkin saya belum sepenuhnya
siap untuk mengalah. Mungkin saya takut berpisah dengan Ibuk dan Abik. Mungkin,
ah lagi-lagi hanya mungkin.
Tapi
the other hand, saya menikmati segala proses belajar saya, membaca
banyak hal, mendengarkan banyak hal, menjejali otak dengan makanan-makanan
berat, biar bagaimana pun, otak saya harus belajar mencerna tekstur-tekstur
agak kasar tak melulu lembut. Saya tahu, mungkin ini saatnya saya lebih banyak
mendengarkan, tidak banyak protes seperti biasanya.
Dan
entah, belakangan, sering seperti ada yang sedang bermain trampoline, siapa?
hati.
Nggak nyangka, hampir sebulan ndak isi blog.
Huhuhu maaf. Berhubung sekarang malam jumat, alias off jadwal ngasih les, dan
besuk masuk kerja sesi kedua. Jadi di sela kepala pening karena flu berat dan
tangang menjumpal ingus yang terus keluar #hueks, saya ingin sedikit bercerita
malam ini.
Salah satu hal yang menarik dalam hidup adalah,
memiliki hasrat mengahadapi tantangan. Jujur, meskipun Psikologi dan anak-anak
adalah sesuatu yang saya sangat tertarik, tapi ternyata saya tetap menemui
kebuntuan-kebuntuan di dalamnya. Dan yang lebih menarik lagi ketika rasa
tertantang untuk menankhlukkan sesuatu yang sulit itu muncul.
Bulan kedua saya bekerja sebagai terapis,
saya sudah melai menemui tikungan-tikungan tak tersangkakan itu. Bu Santy, ketua
terapis di tempat saya mulai memberi mandat saya memegang peserta dengan level
lebih sulit dan sendiri. Suatu hari di seminggu lalu, adalah hari paling
menakutkan. Sehari sebelumnya, Bu Santy sudah mengirim sms bahwa besuk saya
memegang Dhede.“Kalahkan ketakutanmu.”
Gaya Bu Santy kalau lagi nyuruh sesuatu yang lebih berat, saya jawab
“Bismillah.”
Dari pagi saya sudah kepikiran, bagaimana
kalau Dhede ngamuk di kelas? bagaimana kalau mamanya marah? bagaimana kalau dia
melakukan sesuatu yang berbahaya, memecah kaca etalase misalnya? Aaaaaaa.
Dan benar. Detik-detik pertama saja Dhehe
sudah mulai menampakkan ketidakpatuhannya pada instruksi saya, dia duduk di
lantai dan terus meracau. Saya mencoba mengangkatnya, saya tidak kuat, berat
sekaligus dia terus meronta untuk duduk di lantai. Keringat saya sudah
bercucuran. Belum dapat apa-apa, belum fisioterapi atau brain gym, apalagi
materi terapi. Saya kelelahan memaksa Dhede duduk. Akhirnya saya lepaskan, saya
biarkan saja dia. Saya mengambil nafas panjang, “Dhede berrdirrriii.” dan
ajaib, Dhede berdiri sendiri. Cepat-cepat saya instruksi selanjutnya, “Dhede
duduk.” dia mau duduk!! dia mau duduk!! senengnya saya. Seneng sekaligus
jengkel pada diri saya, bagaimana saya bisa lupa jika ada beberapa anak autis
yang tidak menyukai sentuhan. Huffftttt
Tentang Dhede tidak berhenti sampai di sana.
Menit-menit berikutnya, meskipun ia mau duduk, bukan berarti proses berjalan
mudah. Saya harus menghalaunya berulangkali agar tidak melarikan diri dari
kelas. Itu Dhehe. Saya pikir ia anak paling sulit yang akan saya pegang,
ternyata saya salah. Hari berikutnya saya harus memegang Rere, sama autisnya
namun memiliki kecenderungan melukai orang lain, saya sempat dua kali mendapat
cubitan mesranya di tangan. Lalu kemarin, saya harus menghadapi Nanaz, bocah
laki-laki kecil pengidap celeral palsy. Ia tidak bisa berjalan sendiri, terus
menguluarkan air liur karena struktur mulutnya tidak sempurna, dan memiliki
tingkat agresi yang cukup tinggi.
Namun aneh, saya sama menggebunya dengan mereka.
Dua jam proses terapi berjalan cepat, dan meskipun sering kewalahan, saya bisa
memasukkan materi-materi terapi sedikit demi sedikit. Rasa lega tak terkira
selepas menyerahkan mereka kembali pada orangtuadan berjalan ke arah loker
sambil tersenyum “Saya bisa menghadapi mereka.”
Mungkin ini alasan Allah mengirim saya ke
tempat baru saya itu. Untuk mengajarkan banyak hal itu. Meskipun saya harus
kehilangan banyak waktu tidur sekarang, tidak masalah. Semoga saya semakin
mengerti tentang dunia ini. Semoga Allah mengizinkan saya lebih mendalami
tentang ilmu ini, aamiin.
Titik
paling baik dalam mencintai adalah menerima dengan baik kekurangan
Bekerja
di suatu lembaga terapi memang suatu tantangan tersendiri bagi saya, menghadapi
anak-anak dalam keadaan normal saja harus luar biasa sabar, apalagi yang
luarbiasa dan di atas normal. Kemarin rekan sesama terapis nyeletuk begini,
“Allah itu ada-ada saja ya, si A sudah bisa diajak ngomong tapi artikulasinya
ndak jelas, si B artikulasinya jelas, dianya tapi yang nggak mau ngomong, lha
ini si C malah nggak bisa dua-duanya. Gusti Allah jan enek-enek ae.”
Terkadang
saya berpikir, Ya Allah bagaimana nanti mereka menjalani hidup, bagaimana
ketika mereka dewasa, bagaimana pernikahan mereka, anak mereka, pekerjaan
mereka, bagaimana masa tua mereka. Meskipun semestinya saya juga tidak
perlu khawatir, karena Allah yang menjadikan demikian pasti menjamin kehidupan
mereka entah bagaimana caranya.
Anak-anak
peserta terapi yang jumlahnya hampir seratus itu sepertinya hampir-hampir sama
kekurangannya. Tapi apabila dicermati, nyatanya tidak ada yang benar-benar
sama. Ada yang Autis namun bisa bicara tapi meracau, ada yang tidak mau bicara
sama sekali, ada yang membeo, ada yang mau bicara setelah dipaksa. Ada yang
Celebral Palsy yang jalannya lancar tapi perkembangan otaknya terhambat, ada yang
keduanya, ada yang ketambahan hiperaktif. Ada yang terapi audiovisual yang
semangat sekali belajar namun sama sekali belum mengerti isyarat apa pun, ada
yang memiliki sisa dengar namun pemalu, ada yang memiliki sisa dengar, semangat
belajar namun dari orangtua tidak mendukung.
Yang
mengharukan sebenarnya bukan ketika melihat anak-anak itu. Tapi ketika melihat
orangtua mereka. Karena tentunya mereka tidak pernah meminta pada Allah untuk
diberi anak yang demikian. Semangat mereka, kesungguhan mereka. Saya yakin,
mereka pada awalnya juga sulit menerima. Mengapa harus anak mereka yang
mengalami perbedaan itu? Bagaimana harus menjelaskan kepada saudara dan
tetangga ketika mereka melihat anak mereka yang sekedar salim saja tidak mau?
Atau teriak-teriak tidak jelas? Atau belum bisa berjalan di saat teman
seusianya berlari? Ya, mereka orangtua-orangtua hebat.
Saya
berpikir. Allah Mahaadil, setiap orang tentu memiliki sisi kurang. Hanya saja
ada yang begitu terlihat dan ada yang tidak. Mungkin, kekurangan-kekurangan terlihat
ini lebih tidak mudah diterima. Namun bagaimana ketika suatu saat oranglain
melihat kekurangan yang tidak terlihat itu, akan dengan mudahkah belajar
menerima?
Dicintai
karena kelebihan itu sesuatu yang lumrah. Banyak orang mampu melakukan itu dengan
mudah. Yang sulit adalah tetap mencintai ketika tahu kekurangan. Karena tak
semua orang mampu menerima dan bertahan kekurangan. Kekurangan disini bukan
tentang hal buruk yang kita sengaja atau mau untuk miliki dan tak melulu soal
fisik.
Saya
takut, suatu saat ketika ada seseorang yang mencintai saya namun tidak bisa
menerima kekurangan saya. Mungkin disinilah mengapa saya suka bertingkah semau
saya. Karena bagi saya, mencintai itu adalah mengatakan, “Tidak apa-apa, dia
memang begitu.” terhadap kekurangan seseorang. Mungkin, jika belum pada tahap
itu seseorang belum cukup untuk dikatakan mencintai.
Beberapa
hari lalu di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti terjadi sedikit
ketegangan antara dua kubu. Biasanya grup ini adem ayem aja, bahas
santai-santai atau serius tapi nggak sampai silang pendapat banget. Ceritanya
salah satu teman saya broadcast mengenai larangan-larangan menjalankan ibadah
Islam kejawen, semacam selametan 7 harian, 40, 100 dst. Awalnya banyak yang pro
hingga diskusi berlanjut lancar. Hingga beberapa jam kemudian muncul,
rupa-rupanya di dari kubu yang kontra akhirnya meledak, sepertinya awalnya ia
ingin berusaha diam namun terlalu gerah diam lama-lama, lalu muncul dan
menjawab dengan panjang segala perdebatan dengan pernyataan yang lumayan jleb.
Semua diam. Tidak ada yang menimpali.
Tidak
ada yang salah saya kira. Seperti moment sekarang, saat keputusan antara berapa
ulama berbeda mengenai penentuan kapan Idul Adha dilaksanakan. Sebagian besuk,
sebagian lagi lusa. Dan ini bukan peristiwa jarang di antara muslim, cukup
sering.
Saya
menemukan cerita yang hampir mirip dengan ini. Yaitu peristiwa pasca perang
Ahzab, Rasul memerintah pasukan muslim secepatnya menyerang benteng orang
Yahudi Bagi Quraidhah yang melakukan pengkhianatan perjanjian perdamaian
terhadapan kaum muslim. Rasul berpesan, “Kalian kupesankan agar jangan menunaikan
shalat Ashar sebelum tiba di perbentengan Bani Quraidhah.” Namun ternyata
hingga hampir habis Ashar pasukan muslimin belum sampai tempat yang di tuju.
Hingga terjadilah perselisihan antara kaum muslim, antara yang memilih
menjalankan shalat dan bersikukuh menaati pesan Rasul.
Dilema
juga ya, mau sholat tapi Rasul pesen gitu, mau nggak sholat, tapi sholat kan
wajib, he he. Sebenernya kalau zaman dulu ada internet lebih mudah tinggal
vidcall sama Rasul minta keputusan. Tapi ternyata akhirnya, Rasul tidak
menyalahkan salah satu atau keduanya, semua benar. Karena bagi Rasul, perbedaan
itu wajar dan sah-sah saja selama dalam rangka ijtihad yang sehat. Meskipun
terlepas yang mana yang benar, asal keduanya memiliki keyakinan beribadah dan
berupaya mencari kebenaran di dalamnya.
Tidak
berarti lantas kita jauh berbeda dari ajaran yang semestinya namun
lempeng-lempeng aja jalani, bukan begitu. Selama yang berbeda adalah bukan ibadah wajib
yang disyari’atkan, itu sah-sah saja terjadi perbedaan. Dalam riwayat di atas,
Rasul memandang menyerang Bani Quridhah dengan segera karena bersifat urgent
dan khawatir mereka lebih dahulu menghimpun kekuatan sehingga kewajiban
berperang membela kepentingan umum Beliau utamakan dan menangguhkan Ashar.
Tapi
jaman sekarang, ibadah yang wajib aja ala kadarnya kalau ingat, yang sunah beda
dikit diperjuangin sampai angkat parang, ckck. Meskipun kita dalam posisi
benar, dengan hadits dan Qur’an yang kuat. Tapi marilah tetap menjaga perbedaan
ini agar jangan sampai menimbulkan perpecahan hingga menodai ibadah wajib.
Dalil memang bisa menakhlukkan akal, tapi hanya akhlaq yang dapat memenangkan
hati.
Euuuh
berani sekali hari ini saya, bahas-bahas kayak begini udah kayak ilmunya luas
aja. Hehe saya juga sedang belajar, sedang memulai. Dari kecil saya biasa
tinggal di lingkungan multicultural, teman-teman saya orang bermacam-macam,
mulai dari Islamnya kental sekali, hingga Islam KTP bahkan nasrani sampai
hindu, saya bergaul sama mereka semua. Bagi saya, keimanan itu tidak hanya
vertikal, tapi juga horizontal.
Tulisan
ini hanya cuap-cuap dari seorang gadis yang sedang belajar. Tentang isinya
wa’Allahualam. Hanya Allah yang Mahabenar.