Jumat, 17 Januari 2014

pedas manis menulis


“Kamu tidak capek menggendong ransel berat itu kemana-mana?” Katamu suatu hari.
Aku menggeleng, “Tidak apa-apa aku tidak bertambah tinggi, asal aku bisa membawa buku cerita dan laptopku kemana-mana.” Jawabku lalu nyengir.

Menulis itu merangkaikan huruf-huruf menjadi sepotong kata, lalu meletakkan mereka seperti tatanan birama. Hasilnya seperti alunan nada, kadang elegy kadang senandung ceria. Menulis adalah cara saya menegur diri sendiri, bahwa setiap kalimat adalah pengingat ada sesuatu yang harus saya pertanggungjawabkan. Mengapa begitu? saya, adalah satu dari beberapa jenis orang mudah terinspirasi, terutama dengan cerita. Dan  tidak bisa saya sangkal, jika diantara kalian banyak juga orang seperti saya. Karena itu, saya harap meskipun itu sedikit sekali, ada hikmah dari setiap kalimat yang saya tata dengan susah payah. Iya, susah payah. Meski mencintai menulis, saya bukan mereka yang menulis semudah bernafas. Sehingga saya berusaha menatanya agar kalian mengerti apa yang saya maksud.
Saya mencintai menulis sama porsinya dengan mencintai membaca dan mencintai psikologi. Menulis terkadang memang menimbulkan ambiguitas, apa yang ingin kita sampaikan diterima berbeda oleh orang lain. Tapi, adakah yang membuat kita menjadi lebih berani selain daripada menulis.
Beberapa hari lalu ada teman meng-inbox, “kenapa jarang update status di facebook, kangen deh dengan tulisanmu.” hanya bisa senyum membaca pesan teman saya itu. Alhamdulillah ada yang suka tulisan saya. Lalu saya jawab, “Takut disangka jatuh cinta, kalau nulis tentang cinta, takut disangka galau kalau nulis sedih-sedih. hehehe”
Memang sih, ujungnya serba salah kalau tipe menulis orang melankolis macam saya. Bikin yang baca punya prasangka. Bukan salah mereka sih, karena kebanyakan menulis memang sewajarnya terinspirasi dari kondisi emosi penulis, tapi kan juga tidak sepenuhnya seperti itu. Seharusnya hal itu bukan menjadi hambatan yang berarti, hemmmm apa ya? mungkin semacam mekanisme pertahanan ego ketika tidak ada inspirasi jatuh dari langit. Yah, meskipun kesel juga menerima pesan “Lagi galau ya?” “Ciee jatuh cinta….” “Sama siapa sama siapa?” :D :D :D Tapi apa pun tanggapan pembaca, seutuhnya menulis itu sangat menyenangkan. Jadi mendapat teman banyak, meskipun tulisan status di facebook pun cuma sepotong, ada beberapa unknown people kemudian kirim message via inbox fb dan memberi apresiasi. Bahkan ada beberapa yang menyarankan untuk membuat novel, hehehe saya belum sepandai itu *nyengir unyu.

Surabaya, 18 Januari 2014
Futri Z. Darojat

Minggu, 12 Januari 2014

Aku dan Malaikat-malaikat Kereta Api



Ini aksi nekat yang lain, sehari sebelum idul adha tahun kemarin dalam perjalanan pulang ke Blitar. Kenapa saya bilang nekat? Begini ceritanya;
Udah Mbak, ikut kereta lewat Malang aja bareng aku. Bahaya malam-malam kereta lewat kertosono. Banyak penjambretan, pemerkosaan, hiiiy serem” Hiperbolis si Riza, adek kelas semasa SMA yang kebetulan ketemu di stasiun, sekaligus satu dari beberapa malaikat penolong yang di kirim oleh Allah waktu itu.
Sedikit saya ceritakan, kalau dari Surabaya mau ke Blitar itu keretanya ada dua, yang satu lewat Malang, yang satu Kertosono. Jamnya hampir sama, sehari ada empat jadwal departure, terakhir pukul 16.20 WIB. Ibu saya melarang bener-bener untuk naik kereta Kertosono pada malam hari, soalnya pernah waktu itu ketika saya kecil perjalanan pulang dari kebun binatang, kita di gangguin orang mabuk di kereta.
Iya sih Dek bener juga. Tapi tiket Mbak lewat Kertosono, gimana caranya?” Saya akhirnya mempertimbangkan kata-kata Riza *memutar otak. Sesaat kemudian, terjadilah pesekongkolan dua anak manusia untuk mengelabuhi polisi khusus kereta api yang menjaga gerbang.
Singkat cerita kami menemukan sebuah ide, yang cukup brilian, yang tidak akan saya ceritakan pada siapa pun, saya lindungi benar-benar ide ini. Saya tidak ingin ada yang meniru kejelekan saya. Diancam, disuap, disogok pun tidak akan saya bocorkan, kecuali bila saya diancam mau dibunuh atau diculik *apa sih.
 Bla bla bla. Berhasil!! Saya lolos pemeriksaan. Berhasil masuk kereta. Namuuuun taraaaa, kereta penuh luar biasa, berjubalan manusia di sepanjang gerbong, dan saya ingat, jangankan tempat duduk, tiket sah saja saya tidak punya. Nggak papa, kan ada Riza, akhirnya saya nebeng duduk  di seatnya si Riza. Ini kenapa saya bilang Riza salah satu malaikat penolong pada masa itu.
Stasiun demi stasiun kami lalui, semakin banyak penumpang turun. Berhubung tidak enak dengan Riza, saya akhirnya mencari tempat duduk lain. Dapat. Tapi????? saya lupa mempertimbangkan sekeliling ketika mengambil duduk, dari dua bangku berhadapan yang saya duduki ini, yang seharusnya diisi 6 penumpang, 5 diantaranya adalah bapak-bapak. Huaaaaa. Udah wajah mereka serem, tar kalau saya diapa-apain gimana??
Saya sempat senewen dan mau pergi pada awalnya, melihat tampang bapak-bapaknya. Ketika diam, mereka serem. Mereka adalah (perkiraan saya) pekerja pabrik yang pulang kampung.
Kuliah Mbak?” Satu diantara mereka bertanya kepada saya. Saya anggukan kepala demi kesopanan. “Jurusan apa?” Lanjut si Bapak.
Psikologi,” Jawab saya.
Waaah psikologi, bisa konsultasi!!!” Sorai si Bapak yang lain.
Ini Mbak, aku galau yoopo iki obat e?” timpal Bapak yang lain.
Ati-ati Mbak e iso moco awake dewe.” Timpal yang lainnya lainnya lagi.
Ini Mbak, pikirinku kok sering nggak konsen, itu kenapa Mbak?” Bapak kurus di pojok ikut berkontribusi.
Hahahaha. Saya tertawa *dalam hati. Saya lupa dulu jawab gimana. Yang jelas, suasana berikutnya menjadi sangat cair. Kereta malam kami terus melaju meninggalkan Sidoarjo menuju Bangil Pasuruan. Hingga tibalah saat yang saya takutkan : pemeriksaan tiket. Apa yang harus saya lakukan?? Tiket saya bukan untuk naik kereta ini?? Bagaimana ini?? Nggak lucu banget kalau saya tiba-tiba ke toilet nanti malah dicuriain. Saya mencoba memasang wajah sesantai mungkin, tersenyum, bismillah sambil menyerahkan lembar tiket ke petugas. Daaaan
Petugas tiket diam saja, lalu mengembalikan tiket palsu saya yang telah diperiksa. Tanpa ba bi bu yang lain seolah tiket saya sah sah saja. Ada apa hari ini ya Allah, lolos pemeriksaan masuk peron, ketemu dan nebeng duduk di Riza, lolos pemeriksaan tiket selanjutnya. Ada apa hari ini ya Allah???? *berkaca-kaca
Loh Bukan kereta ini?” Tanya Bapak samping yang ngelirik ke tiket saya. “Kok bisa lolos ya?” *muka heran
Ndak tau pak,” jawab saya *masih tertegun.
Tadi gimana masuk di stasiunnya?” Yang lain ikut penasaran.
Saya hanya menggeleng. Bapaknya mungkin mulai curiga, gadis muda jurusan psikologi bisa lolos pemeriksaan dua kali. Mukjizat apa ini.
Tapi hati-hati Mbak, kalau pemeriksaan selanjutnya ketahuan, Mbak bakal diturunkan.” Huuuuaaa bilang apa Bapaknya???? Diturunin?? Bayangan saya udah yang serem-serem aja waktu itu, itu pukul 20.00, gimana kalau diturunin di stasiun kecil, terus jalan nyari bis jauh banget huaaaa, ada yang lebih serem ketika menyadari uang di dompet nipis banget.
Saya terus gusar sepanjang perjalanan, hingga sampai Malang. Bapak-bapak kawan perjalanan saya tadi turun, menyisakan satu, yang duduk di pojok. Jadi kursi berenam itu kita pakai berdua.
Kereta meninggalkan Malang, HAHH?? ada yang janggal, saya sadari, tiket gadungan saya yang di bawa Bapak-bapak tadi belum dikembalikan. Huuuaaa, wajah saya makin gusar saja waktu itu. Tiket satu udah palsu, ilang lagi.
Pak, tiket saya kebawa temannya Bapak.” Saya beranikan cerita ke Bapak yang masih tersisa di hadapan saya.
LOH?? kok bisa???” Saya bener-bener nggak nyangka respon si Bapak seberlebihan itu, saya hanya berniat cerita untuk mereduksi kecemasan, tapi si Bapak langsung bangkit berdiri. “Ya udah tunggu sini dulu tak carikan.” Bapak itu mulai bangkit.
Paaak nggak usah. Nggak usah Paaaak. Paaaak” Teriak saya lupa diri kalau itu di kereta.
Nggak usah gimana? nanti bisa diturunin!” Si Bapak ikut teriak, dongkol atas pengeyelan saya. Sejenak kita menjadi tontonan gratis oleh penumpang sekitar.
Saya tidak enak saja, baru kenal beberapa jam. Si Bapak udah kerepotan punya teman duduk macam saya. Dan nyari dimana juga tiket di atas kereta gini? Aduuuh si Bapak. DAaaaaN. JREEEENG. Si Bapak muncul dengan selembar tiket, meski dengan nama orang lain, paling tidak itu cukup mengelabuhi petugas.
Ini, nggak bakal di cek kok namanya. Yang penting sudah bawa tiket.” Kata si Bapak santai.
Terima kasih banget Pak, Bapak dapat darimana?” Saya masih penasaran.
Udaah ndak penting. Stasiun depan saya mau turun. Duluan ya, ati-ati lo.” Kata si Bapak selanjutnya ngeloyor.
Ya Allaaaaah siapa bapak baik hati itu ?? Saya bahkan tidak tahu namanya, andai bapak itu perempuan pasti sudah saya peluk. Saya tidak bermaksud apa-apa menceritakan ini. Apalagi berniat menginspirasi keburukan, sungguh tidak. Saya hanya ingin yang lain belajar dari saya. Tampang orang kadang menipu, buktinya Bapak yang serem-serem tadi baiiik banget hatinya. Mau bantu saya padahal nggak kenal. Sekaligus mengingatkan, jangan berani-berani melanggar aturan kendaraan umum. Saya memang lolos, karena hari itu Allah Berbaik hati mengirim malaikatnya untuk menjaga saya. Tapi ingat, saya gusar lo sepanjang perjalanan, dan merasa berdosa tentunya. Tapi dari awal, saya memang sudah yakin. Seperti waktu-waktu yang lain, Allah tidak pernah membiarkan hambaNya teraniaya. Pasrah aja, Allah pasti tolong kok :D .

Sabtu, 04 Januari 2014

Pohon di Dekat Dandelion


Mengapa dandelion? Tidak adakah di dunia ini bunga yang lebih menarik bagimu selain bunga semak-semak yang seperti kapas dan sama sekali tak wangi, cattleya atau anggrek yang lain, daisy mungkin, atau daffodil. Sepertinya mereka lebih berkelas.” Katamu sembari mengencangkan tali sepatu, siang itu kita kembali melakoni kebiasaan kita : berdebat.
Hidup tak selalu perkara indah dan berkelas. Jika aku terlahir sebagai daisy dan disukai, itu wajar. Semua daisy juga begitu. Tapi jika aku dandelion dan ada yang menyukaiku, dia orang istimewa karena menemuka sesuatu yang istimewa dibalik ketidakistimewaanku.” Kamu diam, mungkin mempertimbangkan jawabanku barusan.
Apa semua hal harus dianalogikan seperti itu?” Tepat, kau selalu menyangkal. Aku hafal itu. Karena sulit bagi makhluk eksak sepertimu mengerti pemikiranku.
Kata di dunia manusia terbatas, tidak cukup untuk mewakili perasaan tertentu. Selain itu, metafora adalah bentuk lain kita berinteraksi dengan makhluk di luar manusia.” Jawabku asal saja. Kau mangut-mangut, ini kejarangan yang kusuka, kau diam karena jawabanku. Aku menang.
Kalau aku bunga, lebih baik aku jadi bunga apa?” Tawaku kali ini benar-benar pecah bahkan berkeping-keping. Dan ekspresimu seolah tak ada yang lucu selepas kau menanyakan itu. Ada hal yang membuatku lansung berhenti tertawa : kau pandangi. “Kenapa berhenti tertawa?” Tanyamu kemudian, selanjutnya kurasakan pipiku memanas, malu.
Jangan jadi bunga, kau harus jadi pohon. Yang menjulang dengan kokoh menantang matahari, tapi pohon apa ya?” Aku mengetuk-ketuk jidat dengan telunjuk. “Quince, yang tumbuh di sekitar bunga tulip?” Kataku kemudian.
Kau menggeleng.
Aku ingin jadi pohon, yang tumbuh di dekat dandelion saja. Aku ingin menemaninya biar tak kesepian” Kali ini bukan perdebatan, karena aku sempurna terbeku dengan jawabanmu.

Jumat, 03 Januari 2014

Wisata Hati


Saya punya referensi baru untuk kalian, terutama bagi yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya. Banyak diantara kita, selalu bingung hendak kemana liburan nanti. Ada tempat wisata gratis ternyata di Surabaya, cobalah sekali-kali kalau kalian senggang berwisata lah kesana. Tapi kali ini sedikit beda yang berwisata bukan fisik kalian, tapi hati. Kapan terakhir mewisatakan hati?
Yaitu di Gedung Diagnostik Center, khususnya ruang radiologi RSUD Dr Soetomo. Senin-Jumat sekali saja kalian bisa duduk disana di ruang tunggu, lalu tolehkan kepala kalian, mata kalian akan menyapu pemandangan yang sedikit jarang kita lihat atau hanya kita lihat di layar televisi, yaitu ratusan penderita kanker sedang mengantri menjalani radioterapi. Duduklah disana dan berbicara sedikit pada mereka di sekitar anda, saya yang akan jamin. Jika hati kalian lembut, kalian pasti menangis atau setidaknya menahan tangis.
Itulah yang kami (kelas psikologi kesehatan) lakukan seminggu ini, okay pada awalnya kami mengeluh. Bagaimana bisa seminggu liburan ini kami habiskan menemani penderita kanker. Betapa akan membosankannya. Tapi ternyata semua jauh dari apa yang saya sangkakan. Saya menikmati waktu-waktu bersama mereka. Menemani (tepatnya menguntit) mereka berhari-hari, melihat mereka bercanda satu sama lain, melihat kepala botak mereka, mata cekung, ada semacam slang atau gambar apa entahlah di baggian tubuh tertentu. Lalu, ayo sama-sama katakan Nikmat Tuhan Manakah yang Engkau Dustakan?
Kami (Saya dan teman saya Indah) merasa beruntung mendapat pasien bernama Ibu Tuminah penderita kanker serviks stadium 2b. Dari beliaulah justru kami belajar, sekali dua kali meski Mbah Tum (begitu kami memanggilnya) berbicara sambil bercanda tetap saja membuat kami saling meremas tangan menahan tangis, jangan sampai kita menangis di depan mereka.
Tak sangkakno mati wingi Nak Alhamdulillah sek diparingi panjang umur, yo tak sukuri nak aku dikeki loro ngeni yo tak sukuri wong aku dikeki urip ket bayi sampe saiki mosok aku menesal. penyakit opo-opo yo disyukuri ae,sing ra duwe penyakit mati sing duwe penyakit yo mati, ora usah menesal, jare ora ono tombone, jare sopo, wong ono penyekit kok ora ono tombone, lek wong mati iku lo ora kenek diperpanjang umur, jarene kenek kanker cerviks ganas, jare tulisan iku maeng, ganas nggak ganas wes opo jare, kabeh iku onok sing ngatur.  
-Saya pikir saya meninggal waktu itu, Alhamdulillah masih diberi umur panjang. Tetap saya syukuri meskipun pemberianNya adalah penyakit. Saya diberi hidup dari bayi hingga sekarang masak hanya saya sesali. Yang punya penyakit akan mati, yang tidak pun juga akan mati, katanya tidak ada obatnya, kata siapa? ada penyakit pasti ada oatnya, kecuali kalau mati tidak bisa diperpanjang, katanya saya kena kanker serviks ganas, mau ganas mau tidak semua sudah ada yang mengatur.-
Luar Biasa, andai kita yang masih sehat ini mau dan mampu belajar banyak dari mereka yang dengan susah payah menyambung hidup, atau hidup bergantung pada alat. Andai kita banyak berfikir. Bagaimana jikalau Allah pun tak memberi kita kesempatan sakit untuk meluruh dosa-dosa namun langsung memanggil kita tanpa syarat. Siapkah? Sedang sholat pun kita sering menomor sekiankan.
Maka nikmat Tuhanmu mana kah yang kau dustakan?
Bayangkan, bagaimana jika suatu saat kita harus berepot – repot membawa tabung oksigen kemana – mana,
atau secara tiba – tiba mata kita tak mampu bahkan untuk berkedip
atau kau tak bisa merasakan lelah selepas bekerja, tak merasa panas di terik matahari, tak merasa dinginnya air hujan, tak merasa lapar meski tak makan, atau tak tak yang lain yang sering kita remehkan.
Akan merasa takutkah kita?
Akankah kita menangisi keganjilan itu, keganjilan?  pernahkan kita benar – benar mempunyai kegenapan hingga berkata demikian.
Akankah kita merasa kehilangan? Benarkah kita pernah benar-benar memiliki hingga patut merasa kehilangan.
Maka, detik ini. Mari bersama-sama bersyukur, untuk semua yang melekat pada kita, untuk yang terlihat atau tidak, untuk yang kita kehendaki atau tidak, untuk yang kita bangga memilikinya atau tidak, mari berterimakasih.
Segala puji hanya untukNya. Alhamdulillah.