“Mengapa
dandelion? Tidak adakah di dunia ini bunga yang lebih menarik bagimu selain
bunga semak-semak yang seperti kapas dan sama sekali tak wangi, cattleya atau
anggrek yang lain, daisy mungkin, atau daffodil. Sepertinya mereka lebih
berkelas.” Katamu sembari mengencangkan tali sepatu, siang itu kita kembali
melakoni kebiasaan kita : berdebat.
“Hidup tak
selalu perkara indah dan berkelas. Jika aku terlahir sebagai daisy dan disukai,
itu wajar. Semua daisy juga begitu. Tapi jika aku dandelion dan ada yang
menyukaiku, dia orang istimewa karena menemuka sesuatu yang istimewa dibalik
ketidakistimewaanku.” Kamu diam, mungkin mempertimbangkan jawabanku
barusan.
“Apa semua
hal harus dianalogikan seperti itu?” Tepat, kau selalu menyangkal. Aku
hafal itu. Karena sulit bagi makhluk eksak sepertimu mengerti pemikiranku.
“Kata di
dunia manusia terbatas, tidak cukup untuk mewakili perasaan tertentu. Selain
itu, metafora adalah bentuk lain kita berinteraksi dengan makhluk di luar
manusia.” Jawabku asal saja. Kau mangut-mangut, ini kejarangan yang kusuka,
kau diam karena jawabanku. Aku menang.
“Kalau aku
bunga, lebih baik aku jadi bunga apa?” Tawaku kali ini benar-benar pecah
bahkan berkeping-keping. Dan ekspresimu seolah tak ada yang lucu selepas kau
menanyakan itu. Ada hal yang membuatku lansung berhenti tertawa : kau pandangi.
“Kenapa berhenti tertawa?” Tanyamu kemudian, selanjutnya kurasakan
pipiku memanas, malu.
“Jangan jadi
bunga, kau harus jadi pohon. Yang menjulang dengan kokoh menantang matahari,
tapi pohon apa ya?” Aku mengetuk-ketuk jidat dengan telunjuk. “Quince, yang tumbuh
di sekitar bunga tulip?” Kataku kemudian.
Kau
menggeleng.
“Aku ingin
jadi pohon, yang tumbuh di dekat dandelion saja. Aku ingin menemaninya biar tak
kesepian” Kali ini bukan perdebatan, karena aku sempurna terbeku dengan jawabanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar