Sabtu, 04 Januari 2014

Pohon di Dekat Dandelion


Mengapa dandelion? Tidak adakah di dunia ini bunga yang lebih menarik bagimu selain bunga semak-semak yang seperti kapas dan sama sekali tak wangi, cattleya atau anggrek yang lain, daisy mungkin, atau daffodil. Sepertinya mereka lebih berkelas.” Katamu sembari mengencangkan tali sepatu, siang itu kita kembali melakoni kebiasaan kita : berdebat.
Hidup tak selalu perkara indah dan berkelas. Jika aku terlahir sebagai daisy dan disukai, itu wajar. Semua daisy juga begitu. Tapi jika aku dandelion dan ada yang menyukaiku, dia orang istimewa karena menemuka sesuatu yang istimewa dibalik ketidakistimewaanku.” Kamu diam, mungkin mempertimbangkan jawabanku barusan.
Apa semua hal harus dianalogikan seperti itu?” Tepat, kau selalu menyangkal. Aku hafal itu. Karena sulit bagi makhluk eksak sepertimu mengerti pemikiranku.
Kata di dunia manusia terbatas, tidak cukup untuk mewakili perasaan tertentu. Selain itu, metafora adalah bentuk lain kita berinteraksi dengan makhluk di luar manusia.” Jawabku asal saja. Kau mangut-mangut, ini kejarangan yang kusuka, kau diam karena jawabanku. Aku menang.
Kalau aku bunga, lebih baik aku jadi bunga apa?” Tawaku kali ini benar-benar pecah bahkan berkeping-keping. Dan ekspresimu seolah tak ada yang lucu selepas kau menanyakan itu. Ada hal yang membuatku lansung berhenti tertawa : kau pandangi. “Kenapa berhenti tertawa?” Tanyamu kemudian, selanjutnya kurasakan pipiku memanas, malu.
Jangan jadi bunga, kau harus jadi pohon. Yang menjulang dengan kokoh menantang matahari, tapi pohon apa ya?” Aku mengetuk-ketuk jidat dengan telunjuk. “Quince, yang tumbuh di sekitar bunga tulip?” Kataku kemudian.
Kau menggeleng.
Aku ingin jadi pohon, yang tumbuh di dekat dandelion saja. Aku ingin menemaninya biar tak kesepian” Kali ini bukan perdebatan, karena aku sempurna terbeku dengan jawabanmu.

Tidak ada komentar: