Rabu, 08 Oktober 2014

Mencintai Kekurangan

Titik paling baik dalam mencintai adalah menerima dengan baik kekurangan

Bekerja di suatu lembaga terapi memang suatu tantangan tersendiri bagi saya, menghadapi anak-anak dalam keadaan normal saja harus luar biasa sabar, apalagi yang luarbiasa dan di atas normal. Kemarin rekan sesama terapis nyeletuk begini, “Allah itu ada-ada saja ya, si A sudah bisa diajak ngomong tapi artikulasinya ndak jelas, si B artikulasinya jelas, dianya tapi yang nggak mau ngomong, lha ini si C malah nggak bisa dua-duanya. Gusti Allah jan enek-enek ae.”
Terkadang saya berpikir, Ya Allah bagaimana nanti mereka menjalani hidup, bagaimana ketika mereka dewasa, bagaimana pernikahan mereka, anak mereka, pekerjaan mereka, bagaimana masa tua mereka. Meskipun semestinya saya juga tidak perlu khawatir, karena Allah yang menjadikan demikian pasti menjamin kehidupan mereka entah bagaimana caranya.
Anak-anak peserta terapi yang jumlahnya hampir seratus itu sepertinya hampir-hampir sama kekurangannya. Tapi apabila dicermati, nyatanya tidak ada yang benar-benar sama. Ada yang Autis namun bisa bicara tapi meracau, ada yang tidak mau bicara sama sekali, ada yang membeo, ada yang mau bicara setelah dipaksa. Ada yang Celebral Palsy yang jalannya lancar tapi perkembangan otaknya terhambat, ada yang keduanya, ada yang ketambahan hiperaktif. Ada yang terapi audiovisual yang semangat sekali belajar namun sama sekali belum mengerti isyarat apa pun, ada yang memiliki sisa dengar namun pemalu, ada yang memiliki sisa dengar, semangat belajar namun dari orangtua tidak mendukung.
Yang mengharukan sebenarnya bukan ketika melihat anak-anak itu. Tapi ketika melihat orangtua mereka. Karena tentunya mereka tidak pernah meminta pada Allah untuk diberi anak yang demikian. Semangat mereka, kesungguhan mereka. Saya yakin, mereka pada awalnya juga sulit menerima. Mengapa harus anak mereka yang mengalami perbedaan itu? Bagaimana harus menjelaskan kepada saudara dan tetangga ketika mereka melihat anak mereka yang sekedar salim saja tidak mau? Atau teriak-teriak tidak jelas? Atau belum bisa berjalan di saat teman seusianya berlari? Ya, mereka orangtua-orangtua hebat.
Saya berpikir. Allah Mahaadil, setiap orang tentu memiliki sisi kurang. Hanya saja ada yang begitu terlihat dan ada yang tidak. Mungkin, kekurangan-kekurangan terlihat ini lebih tidak mudah diterima. Namun bagaimana ketika suatu saat oranglain melihat kekurangan yang tidak terlihat itu, akan dengan mudahkah belajar menerima?
Dicintai karena kelebihan itu sesuatu yang lumrah. Banyak orang mampu melakukan itu dengan mudah. Yang sulit adalah tetap mencintai ketika tahu kekurangan. Karena tak semua orang mampu menerima dan bertahan kekurangan. Kekurangan disini bukan tentang hal buruk yang kita sengaja atau mau untuk miliki dan tak melulu soal fisik.
Saya takut, suatu saat ketika ada seseorang yang mencintai saya namun tidak bisa menerima kekurangan saya. Mungkin disinilah mengapa saya suka bertingkah semau saya. Karena bagi saya, mencintai itu adalah mengatakan, “Tidak apa-apa, dia memang begitu.” terhadap kekurangan seseorang. Mungkin, jika belum pada tahap itu seseorang belum cukup untuk dikatakan mencintai.

Blitar, 8 Oktober 2014

Jumat, 03 Oktober 2014

Beginilah, Kami Berbeda


Beberapa hari lalu di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti terjadi sedikit ketegangan antara dua kubu. Biasanya grup ini adem ayem aja, bahas santai-santai atau serius tapi nggak sampai silang pendapat banget. Ceritanya salah satu teman saya broadcast mengenai larangan-larangan menjalankan ibadah Islam kejawen, semacam selametan 7 harian, 40, 100 dst. Awalnya banyak yang pro hingga diskusi berlanjut lancar. Hingga beberapa jam kemudian muncul, rupa-rupanya di dari kubu yang kontra akhirnya meledak, sepertinya awalnya ia ingin berusaha diam namun terlalu gerah diam lama-lama, lalu muncul dan menjawab dengan panjang segala perdebatan dengan pernyataan yang lumayan jleb. Semua diam. Tidak ada yang menimpali.
Tidak ada yang salah saya kira. Seperti moment sekarang, saat keputusan antara berapa ulama berbeda mengenai penentuan kapan Idul Adha dilaksanakan. Sebagian besuk, sebagian lagi lusa. Dan ini bukan peristiwa jarang di antara muslim, cukup sering.
Saya menemukan cerita yang hampir mirip dengan ini. Yaitu peristiwa pasca perang Ahzab, Rasul memerintah pasukan muslim secepatnya menyerang benteng orang Yahudi Bagi Quraidhah yang melakukan pengkhianatan perjanjian perdamaian terhadapan kaum muslim. Rasul berpesan, “Kalian kupesankan agar jangan menunaikan shalat Ashar sebelum tiba di perbentengan Bani Quraidhah.” Namun ternyata hingga hampir habis Ashar pasukan muslimin belum sampai tempat yang di tuju. Hingga terjadilah perselisihan antara kaum muslim, antara yang memilih menjalankan shalat dan bersikukuh menaati pesan Rasul.
Dilema juga ya, mau sholat tapi Rasul pesen gitu, mau nggak sholat, tapi sholat kan wajib, he he. Sebenernya kalau zaman dulu ada internet lebih mudah tinggal vidcall sama Rasul minta keputusan. Tapi ternyata akhirnya, Rasul tidak menyalahkan salah satu atau keduanya, semua benar. Karena bagi Rasul, perbedaan itu wajar dan sah-sah saja selama dalam rangka ijtihad yang sehat. Meskipun terlepas yang mana yang benar, asal keduanya memiliki keyakinan beribadah dan berupaya mencari kebenaran di dalamnya.
Tidak berarti lantas kita jauh berbeda dari ajaran yang semestinya namun lempeng-lempeng aja jalani, bukan begitu.  Selama yang berbeda adalah bukan ibadah wajib yang disyari’atkan, itu sah-sah saja terjadi perbedaan. Dalam riwayat di atas, Rasul memandang menyerang Bani Quridhah dengan segera karena bersifat urgent dan khawatir mereka lebih dahulu menghimpun kekuatan sehingga kewajiban berperang membela kepentingan umum Beliau utamakan dan menangguhkan Ashar.
Tapi jaman sekarang, ibadah yang wajib aja ala kadarnya kalau ingat, yang sunah beda dikit diperjuangin sampai angkat parang, ckck. Meskipun kita dalam posisi benar, dengan hadits dan Qur’an yang kuat. Tapi marilah tetap menjaga perbedaan ini agar jangan sampai menimbulkan perpecahan hingga menodai ibadah wajib. Dalil memang bisa menakhlukkan akal, tapi hanya akhlaq yang dapat memenangkan hati.
Euuuh berani sekali hari ini saya, bahas-bahas kayak begini udah kayak ilmunya luas aja. Hehe saya juga sedang belajar, sedang memulai. Dari kecil saya biasa tinggal di lingkungan multicultural, teman-teman saya orang bermacam-macam, mulai dari Islamnya kental sekali, hingga Islam KTP bahkan nasrani sampai hindu, saya bergaul sama mereka semua. Bagi saya, keimanan itu tidak hanya vertikal, tapi juga horizontal.
Tulisan ini hanya cuap-cuap dari seorang gadis yang sedang belajar. Tentang isinya wa’Allahualam. Hanya Allah yang Mahabenar.
(Referensi : Fiqhus Sirah, Muhammad Ghazaliy)

Blitar, 3 Oktober 2014

Selasa, 30 September 2014

Another story of pejuang yudisium


Around a month ago, saya menemani my bestie classmate named Bekti buat ngejar tandatangan persyaratan yudisium kelulusan. Bekti adalah orang yang banyak jasanya dalam  many frustrating moments of mine menuju yudisium, dialah saksi hidup yang melihat dengan mata kepalanya sendiri gimana buteknya wajah hampir depresi saya selepas mencari dosen dan tetap tidak ada kabar berhari-hari selama tiga minggu, menjadi luahan keluh kesah dalam hari-hari penuh ketidakpastian para PHPers, yang menemani saya ngendon di perpus fakultas sampai diusir kita sama penjaganya, dialah yang selalu mengatakan “Bisa..bisa, masih ada waktu.” padahal itu deadline tinggal lima hari dan saya belum ada gambaran kapan bisa menemui dosen untuk revisi. Mungkin waktu itu bekti juga udah pesimis, tepi demi saya dia bohong begitu, Uuuuu Bekti #pelukBekti.
Semua itu tidak berlebihan. Perjalanan menuju yudisium bagi saya tidak lebih ringan daripada proses skripsinya sendiri. Saya bahkan merasa, jika tidak ada keajaiban Allah mungkin saya tidak bisa wisuda Juni kemarin. Bagaimana tidak, bagaimana saya bisa menyelesaikan segala tetek bengek persyaratan yudisiun dalam waktu tiga hari sedang normalnya dua atau minggu atau sebulan. Allah menyulap dosen penguji saya yang super duper aduhai itu menjadi sangat baik hati, Allah mengirim Eli, Mbak Inun, Mbak Meta untuk sama-sama telatnya kayak saya, biar saya ada temennya telat, biar saya ada yang nebengin kemana-mana, haha. Mengirimkan dosbing yang buaik luar biasa, sampai mau bela-belain telepon dosen penguji biar ngoreksi revisian skripsi saya.
Seminggu sebelum deadline saya telpon Ibuk, “Buk, sepertinya aku nggak bisa wisuda Juni, nggak papa ya, Buk?” mau enggak nangis akhirnya nangis juga sambil bilang. Meskipun ibuk bilang nggak papa, hati saya belum tenang. Yah, harapan Ibuk pengen lihat saya wisuda Juni pupus, batin saya. Selanjutnya, hari-hari itu terisi adalah tawakal saja. Berjalan dengan gontai ke kampus, berkumpul dengan pejuang skripsi yang lain yang masih sama-sama belum ada kepastian apakah kami bisa wisuda bulan depan. Kami benar-benar pasrah ya Allah, terserah Engkau.
Tapi saya tetap sekuat tenaga positif thinking, meski jadi sensitive banget, dikit-dikit nangis, status fb, twitter, bbm, wasap, semua, diliputi oleh satu kata, tawakal. Karena saya yakin, saya sudah mengeluarkan semuanya. Saya sempat tidak tidur semalaman demi mengejar target penyelesaian skripsi, bolak-balik Blitar-Surabaya ngambil data, ngewer-ngewer Sammy (netbook kesangan) kemana pun saya pergi, membagi perhatian antara realisasi dan laporan kemajuan PKM dan draft skripsi. Saya hanya yakin, Allah akan membayar kelelahan saya.
H-3 pengumpulan berkas Yudisium pukul 08.10 di fotokopian, dosbing saya nelpon.
dosbing : Mbak Futri dimana?
saya     : di fotokopi, Bu.
dosbing : Bisa ke kampus sekarang, di tunggu penguji untuk revisi
Saya segera cuss ke kampus, menemui penguji untuk revisi dan tidak lupa dengan muka melas dan pasrah.
penguji : surat pernyataan jilid skripsi mana?
saya     : hah? Saya belum revisi, Buk.
penguji : Tidak usah, langsung saya acc. Cepat buat surat pernyataan jilid skripsi, saya tunggu sampai jam empat, sekalian saya tandatangani pengesahannya.
Saya tertegun, tiba-tiba ruang dosen terdengar instrumennya Abang Yiruma yang judulnya River flows in You, saya seret tangan dosen penguji, lalu kami menari tango #emanggaknyambung.
Ternyata ini keajaiban tawakal, cara Allah mengajari saya apa itu pasrah pada-Nya, apa itu optimis, apa itu menjaga dompet dari potocopi berulangkali  karena tidak ada revisi ngahaha, (fyi, skripsi saya 200 lembar).
Tawakal adalah kepasarahn total, pada rencana dan ketentuan waktu Allah. Sehingga tetap terjaga baik sangka pada-Nya meski kemarin jika saja hasilnya adalah saya tidak jadi wisuda, karena kita tidak tahu, Allah Mahamemeri kejutan, sedang kita hanya maha tidak tahu. So, trust His timing and keep tawakal.

Blitar 30 September 2014

Minggu, 28 September 2014

Surabaya Setahun Terakhir

Apa yang harus kukatakan lagi pada orang melankolis ini, pekerjaannya mendramatisir sesuatu. Hanyut dalam kenangan, tenggelam dalam kerinduan #halah.

Ada sisi sensitive dalam diri saya memang, terutama ketika melibatkan sesuatu yang menyentuh perasaan. Dasarnya mudah terharu, yang menurut orang mungkin biasa saja, tapi saya tidak bisa menganggapnya biasa. Yah, inilah hidup versi saya.
Weekend di pagi hari, aktivitas terakhir saya akhir-akhir ini adalah telpon-telponan berjam-jam dengan sodara-sodara yang masih belum hengkang dari Surabaya. Bahas apa? Tentunya bahas yang enggak penting-penting. Sepertinya, mereka belum mau melepas saya #GeEr.
Surabaya setahun terakhir, puncak perubahan besar dalam diri saya. Masa-masa paling soro (sengsara), paling deket dengan teman-teman juga, masa paling jahat pada diri sendiri, masa berlatih sabar habis-habisan karena jadi mas’ul (penanggung jawab) asrama, masa dimana harus melalui peristiwa hampir depresi satu menuju hampir depresi yang lain, masa harus pintar-pintar membagi waktu antara PKM, skripsi, dan kampanye caleg wkwkwk. Intinya, setahun terakhir ini di Surabaya adalah unforgettable sangat.
Pelan-pelan saya baru sadar rencana-rencana Allah tentang jalan takdir yang harus saya lalui, atas banyak hal yang saya mau banget tapi belum dikabulkan. Mengapa saya tidak wisuda bulan Maret, mengapa saya harus tidak mendapat tempat PKL di Surabaya (meskipun sempat hampir depresi karena ditolak empat kali oleh lembaga terapi, haha), mengapa saya harus ‘diasingkan’ di asrama berbeda dari teman-teman angkatan 2010 dua tahun berturut-turut, mengapa saya yang masih sering manja dan ngga jelas ini dijadikan penanggungjawab asrama, dan mengapa-mengapa yang lain.
Iya, Surabaya telah menjadi monument kenangan bagi saya. Surabaya, kota yang dulu paling saya ogahi karena panas dan takut item (dasarnya padahal juga udah item :P ). Ini kota yang dimau-i Ayah saya, akhirnya bisa membuat saya jatuh hati. Sekarang membicarakan Surabaya bukan hanya sebatas sebuah kota, namun memasuki daerah perasaan, cieeeh.

Blitar, 27 September 2014