Rabu, 17 Juli 2013

Tentang Dua



Bukan kah hidup hanya tentang dua.”
Dua?” Aku menoleh, wajahnya takzim menatap langit sore Paddington, di sana burung gereja riuh bercicit, mungkin itu nyanyian pulang mereka.
Ya, dua. Satu mengambil kesempatan, yang lainmelewatkannya.”
Bukannya tiga?” Jawabku cepat, bahkan tanpa terskenario otakku.
Tiga?” Ia balik bertanya, matanya masih tertuju kerumunan burung gereja.
Sisanya adalah penyesalan. Adakah sesuatu yang lebih kita sesalkan selain kesempatan emas yang terabaikan.” huff…
Ia menoleh ke arahku, mungkin terkejut dengan jawabanku. Aku bukan tipe filsuf sepertinya. Dan teorinya hari ini terevisi olehku. Ini aneh memang, aku juga bingung.
Dan yang lebih menyedihkan, kau tak pernah peka tentang sesuatu bernama kesempatan itu.” tambahku.
Hhhh….Ia tergelak. “Kau punya bakat berfilsafah.” Katanya kemudian, “Aku bahkan tidak terpikir tentang hal ke-3 itu.”
Karena kau belum pernah merasakan teramat menyesali sesuatu.” Jawabku ragu kemudian takut. Takut umpan balik yang akan ia berikan. Takut aku akan membeberkan sesuatu yang kurahasiakan.
Tapi ia hanya diam, aku juga. Kami sibuk dalam pikiran masing – masing.
Kau akan tidak akan pernah menyesalinya lagi jika kau memiliki sesuatu.”
Apa itu?” seperti biasa, aku selalu terpancing untuk bertanya.
Keyakinan.” Ia masih memandang burung gereja yang kini tinggal beberapa. “Jika kau yakin pada Tuhanmu, Ia kan memberitahumu radar kesempatan itu. Ia akan membuatmu begitu cemas jika tak memedulikannya. Bahkan Ia akan mengatur cara, agar kau bisa mengambilnya dengan jalan terbaik. Kau tahu apa yang sangat membuatku ketakutan?”
Apa?”
Ketika aku tak mepertimbangkan Tuhan dalam memilih.”
Kali ini aku yang hanya diam, ia terus bergeming, entah tentang apa. Aku sudah sibuk merutuk beberapa hal di masa lalu.


Blitar, 22:45 17072013
Aku punya rencana, tapi rencana Allah lebih baik untukku :')



Rabu, 10 Juli 2013

-

Elegy
sampai kapan kita akan bernyanyi seperti ini
mendiami nada – nada yang tak teringinkan
bercanda, tertawa, pada birama yang berbeda
sulit sekali meletakkan jemari pada tuts yang tepat
hingga setiap langkah kita seirama, sulit
sesulit mengerti rencana Tuhan tentang kita
walaupun dawai memaksa, pada keputusannya
kita masih berbeda mengalun nada
mengapa?
mungkin karena gubahanmu memaksaku bermain pada nada tinggi,
aku tak mampu, atau terlalu rendah kau bila mengikutiku,
kau tak mau, pasti.
sudahlah, kita ikuti saja permainannya…
meski dalam elegy yang terpaksa untuk dinikmati
seperti do yang kehilangan si, ia tiada…

11:55 pm < Surabaya 7 juli 2013


Quince
Aku menyukaimu, ini tak berlebihan bukan?
aku menyukaimu tanpa sengaja
saat aku mengintip dari kelompak mama
dahan kekarmu menaungi kami pada siang yang terik
kau selalu bilang, ah aku tidak merasa
mungkin seperti itulah kau tak merasa kusukai
aku menyukaimu dan ini tak sederhana
aku tahu, matahari terlalu kejam untuk kita
ia mampu membakarmu, lalu menjadikanmu kerontang tak bernyawa
namun jika nanti sampai pada saat itu
aku akan tetap menyukaimu
dengan tidak peduli seperti saat dahanmu memeluk warna merah jambuku
hujan, selalu bukan alasan baginya

Surabaya, 8 Juli 2013


Hujan
aku ingin bilang
Hujan
aku ingin bilang
Hujan
aku ingin bilang
Hujan
aku ingin bilang
aku ingin bilang
bahwa…..
tidak jadi…….

SBY, 8 Juli 2013


Hujan…
ini rasa yang tertahan kemarin
ada negosiasi dengan hati
bahwa aku boleh mengatakan padamu
hujan, kenapa kau selalu datang berbanyak
membuatku tak mengerti…
sama tak mengertinya hati pada persepsi
yang kerap membenarkan bahwa rasa itu adalah cinta
jangan membelanya hujan, ku mohon
aku sudah cukup habis kehilangan teman
ketika semua kenyataan berpihak padanya
terkadang, aku mencari dalam kotak pencil
disana adakah penyusut..
aku ingin menghilang untuk tak memikirkannya…
atau muncul kembali ke bumi sebagai alien yang tak perlu mengenalnya…

sby-080713


*ini blitar. ini hujan sangat riuh di luar sana. ini seseorang memberiku panggilan. memberiku suatu masalah baru. tapi aneh, aku masih setenang ini. semoga ini pertanda baik. radarku menangkap sinyal solusi. #prayforPKL

Minggu, 07 Juli 2013

Desau

Aku tak peduli
sama tak pedulinya rintik hujan dengan riak2 sungai yang berdesak – desakkan di bawah sana
sama juga tak pedulinya dengan perasaan apa yang kau punya untukku..
Aku tak peduli berapa banyak aku menulis surat dan tak terbaca untukmu, aku akan tetap menulis.
Terkadang ketika hujan menyita kita untuk duduk lama – lama di bawah pohon quince kesayangan, aku ingin mengatakan dengan berani. Bahwa sulit sekali mengerti rencana Tuhan. Dia selalu membuatmu lebih hebat untuk melindungiku. Kenapa?. Tapi selanjutnya aku mengingat. Bukan kah aku mengagumimu untuk tidak peduli bagaimana perasaanmu.
Aku memang tidak peduli, aku setia menungguimu di bawah bulan ke tiga belas yang indah, sama setianya matahari terbit dari ufuk timur, meski kemudian ia harus berjalan ke ufuk barat untuk tenggelam. Aku akan selalu datang lagi besok.
Aku tidak peduli berapa lama dengung tawa anggrek bulan tentang perasaanku, aku hanya tak peduli sekarang. Yah, hanya sekarang. Bukan karena aku takut untuk melihat wajah memerahku yang menahan malu, bukan. Bukan pula untuk tak sanggup  bahwa aku akan mendengar rasa yang kau punya berbeda. Aku hanya takut satu, kemarahan Tuhan. Aku menulis ini sembunyi – sembunyi lalu berharap malaikat sedang lalai mengawasiku, meski itu percuma. Aku takut Tuhan marah padaku, atau Tuhan marah padamu karena aku. Aku takut menjauhkanmu dariNya. Aku takut itu.



Surabaya, 06-07-13

Rabu, 26 Juni 2013

confession

Ini sebenarnya pengakuan yang konyol, tapi aku tak bisa mencegah tanganku untuk tak menulisnya.

Biasanya kalau sudah terpojok seperti ini, alih – alih yang biasa kulakukan adalah bernegosiasi dengan hati. Namun, hatiku begitu bebal, bahkan saat ini hatiku berada dalam posisi terbebal sepanjang sejarah kepemilikanku. Sehingga yang tersisa hanya satu pilihan, membiarkannya bermain – main dengan perasaan.
Aku sudah curiga di awal – awal, urusan hati selalu lebih rumit, lebih rumit dari mengatasi nenek – nenek pikun dan pengeyel, pun lebih rumit dari sin cos tangent matematika yang sering kuhindari. Sebelumnya, semenjak aku berhasil memplaster retak – retak di tepi hatiku, aku mengikatnya benar – benar. Dan hasilnya, aku tidak jatuh cinta pada siapa pun. Namun, kemudian sulit sekali rasanya mengerti rencana Tuhan, Dia mempertemukanku denganmu. Baik, mungkin ini klise dan terdengar bodoh, tapi hey mana ada orang dirindung cinta terlihat pintar. Upss ! Dirundung cinta?? ini tidak sebegitunya, ini hanya cerita yang ku karang dan kubesar – besarkan. Aku bukan dirundung cinta seperti itu, ini hanya salah satu dari sekian cara Tuhan mengujiku. Untuk mengasah mata dalam ketajaman, untuk member keterampilan hati dalam kepekaan.
Haii? apa kabar kau? aku tahu, ujian ini pati sama – sama diberikanNya untukmu. Dan ku akui atau tidak, ujianmu sepertinya lebih berat. Hari ini, aku ingin sekali bilang padamu, ayolah kita saling menjaga. Untuk tidak melebih – lebihkan prasangka, untuk tidak terjebak dalam persepsi. Ayolah kita percaya saja pada rencana Allah, cepat atau lambat kita pasti bersati :).


n.b : btw namamu siapa? *plaakkkk

Minggu, 09 Juni 2013

Paddington : Farewell


Aku hanya hanyut pada lamunan ketika kau berkata “Aku pulang dulu ya.” Itu kah kalimat permohonan izin, atau berpamit? bagaimana jika aku berkata “Jangan, tunggu aku.” Ahh konyol. Sore itu kami –lagi – lagi di dalam perpustakaan fisher—hanya memandangi deretan pohon ek dari balik jendela kaca. Tanpa membaca, tanpa menulis, atau Salman tanpa menggambar sesuatu. Salman bilangnya, “aku hanya ingin berbicara.” Dan lebih konyol, kenapa aku jadi mellow dramatis seperti menonton serial korea.
“Kau datang lebih dulu, maka kau pantas pulang lebih cepat.” Aku tidak menyangka, kalimat sebijak itu yang keluar dari mulutku. Kemudian Salman tersenyum, tidak kaku seperti biasa.
“Ini bukan tentang cepat atau tidak cepat. Ini tentang, siapa membutuhkan siapa. Aku hanya mau jujur tetang sesuatu.” Katanya dengan mantap. Mantap sekali. “Kau hebat.”
“Hah?” Aku hampir tak mempercayai pendengaranku. Pasalnya ini sepanjang sejarah pertemanan aneh kami, ia mau memujiku.
“Kau hebat bisa sejauh ini.” Lanjutnya kemudian.
“Bukan kah kau jauh lebih hebat.” Jawabku. Tidak ada balasan darinya. Kami kembali menikmati keterdiaman.  “Incongruity, kau pasti hafal di luar kepala tentang itu.” Lanjutku kemudian memancingnya berbicara yang lain.
“Kau baca dari mana istilah itu.” Pendeknya.
“Jangan salah, dalam psikologi juga ada itu. ketidaksenadaan. seberapa jauh ketidakcocokan itu menimbulkan estetika, begitu kan?” Kataku bangga.
“Sejak kapan kau cerdas.” jawabnya sedikit tertawa. “Begitu lah, match tidak selalu senada, dan yang senada tak selalu seirama. hanya seberapa jauh kau mendetailkan ketidak senadaan itu dengan pemfokusan yang lain. huff…” ia tutup kalimat itu dengan desahan panjang, seperti bosan. “Namun bukan berarti yang senada itu tak memiliki estetika, jauh lebih seharusnya. hanya memperhatikan detail. Bahkan lebih mudah pendetailannya.”
Aku heran, kenapa Salman tak menanyakan mengapa aku membahas incongruity. Ia justru menerangkan prinsip – prinsip ilmu arsitektur kebanggaannya. Aku hanya diam mendengarkan, sesekali ber-oh panjang lalu mangut – mangut.
“Tapi, congruity apa yang kau maksud?” Huff…akhirnya pertanyaan itu keluar.
“Sama.” Sebenarnya bukan itu jawaban yang kusiapkan. Aku hanya bingung menata kalimat. “Hanya saja, hidup seringkali tak senada dengan rencana, tak sesuai sketsa, begitu mungkin itu bahasamu.”
“Justru out of line itu yang membuat sesuatu menjadi hidup. Jangan khawatir. Congruity atau tidak, kau akan mendapatkan yang seirama.” Entah kenapa ia tertawa, aku bingung.
“Apa maksudmu?” Aku mulai curiga dengan penebakan pikirannya. –dengan maksud aku takut tertebak maksudku sebenarnya.
“Kita berbeda, tapi kenapa kita bisa berteman. Begitu kan maksudmu.” Jleb, aku terpojok telak. “Aku pendiam, kau banyak berbicara, aku suka menggambar, kau suka menulis, aku bekerja dalam matematika yang terpercaya, kau teori maya yang kau bela mati – matian, hahaha.” Aku masih diam, tak menanggapi –tepatnya bingung untuk menanggapi—“Ajari aku membuat puisi.” Katanya selanjutnya menyadariku keterpojokanku. Ia memang seharusnya tahu muka Maluku yang terlanjur tampak nyata.
“Kau mengekspresikan dengan gambar, kenapa harus repot- repot belajar membuat puisi.” Entah kenapa, untuk menutupi malu, suaraku justru terlihat ketus.
Salman tertawa, kali ini tertawa paling kencang sepanjang hidupnya, aku bertaruh untuk itu. “Kita masih bisa bertemu dan bersahabat, jangan khawatir.” Tawanya memelan.
Kau mengenal teman yang tak kau kehendaki, selalu muncul dengan sangat menyebalkan, yang selalu membuat iri, yang pintar sekali memojokkan, yang mencintai matematika, menjunjung tinggi estetika, dan membela mati – matian nilai sejarah. Itulah Salman. Kau bisa menanyakan bagaimana hitungan hingga atap – atap Gedung Opera itu tidak runtuh, hingga bagaimana cerritanya Korea Utara dan Selatan berpisah, ia hafal di luar kepala. Yah, begitu lah Salman membentuk tidak rata di hatiku. Kemudian dengan seenaknya ia berpamitan pulang. Inilah bagian aneh itu,  ketika kau takut kehilangan orang asing.
“Jangan berhenti menulis. Tulisanmu masih sangat jelek. Kau butuh lima atau tujuh tahun lagi untuk mendapat pujian dunia, itu pun jika kau berlatih 2 jam sehari. Segera pulang juga, ayo membangun Indonesia sama – sama.”
Kalimat itu lah mengakhiri semuanya, Kisah tentang kota kami, Paddington, Perpustakaan Fisher, dan semua tentang pertemanan janggal kami. Ini dia bagian dari menulis yang aku takutkan, pada akhirnya, segala kisah akan kehabisan kata, tidak ada yang dibahas, lalu berhenti sampai di sini. Lalu kita akan dengan susah payah membangun kisah yang lain, yang kita selalu tuntut akan serupa bahkan lebih.
*di penghujung semester 6, aku benci mengapa waktu begitu cepat berlalu. Kau membaik, sedang aku masih seperti - seperti ini saja :(.
 @ruang tengah asrama Khansa, dengan setumpuk tugas proyeksi dan inventori, dan besuk uas psikologi tata kota, dan ini pukul 01.50.