There was a romantic story to emerged as a beautiful answer
from God, It occurred several days ago after I posted a story in my beloved
blog titled “Ya Allaaah :’( “. Lol, it was like a hopeless posting. In that
story I told that I was on unmood circumstances and wrote “ Oh Allah, What’s
wrong with my dreams? am I wrong with
that? and the side of being mellow invasions me : crying.”
But, guess what?? what happens after that? several minutes
(around five or ten minutes) letersomeone
gave me a call. whom called me? Oh I shocked up. The editorial staff of annida
magazine confirmed that my short story will publish on their magz. Oh God??
Speechless, I just kinda touched by that. It would be my first short story that
will be read by thousands person. Oh God, Oh God. Huge Thanks for making one of
my dreams being true.
Then I controlled my self to not much being happy. Hufff….i
lied on my bed and still smiled, awaked and continued my surfing. Suddenly, I
opened my siakad (Information Academic System) and what occurs???Tam Taraaam
the second package from God had come. I stared at the monitor and shocked when
found the result of my examination. There was nine characters ‘A’ among of my ten
classes I took. Oh God, you answered my praying with a beautiful way.
God always gives us many romantic stories, so just be patient
person who waits that. And look! one by one of your dreams become true. Just be
patient and keep praying.
Aku istimewa,
kamu istimewa, mereka , dan kita semua istimewa. Ketika kita percaya bahwa
Tuhan itu maha adil, seharusnya secara otomatis bahwa kita juga percaya bahwa
setiap manusia itu istimewa. Karena Tuhan membagi keistimewaan pasti merata.
Merata bukan sama atau serupa, tapi semua dapat. Ini alasan saya berkata
demikian, jika manusia yang bermilyar-milyar ini diciptakan berbeda (sekalipun
kembar), tentunya ada satu hal yang membuatnya unik atau berbeda dengan orang
lain. Di situ istimewanya, kita menjadi istimewa ketika menjadi diri kita,
karena manusia istimewa dengan cara mereka.
Namun, sungguh
makhluk apa yang lebih bebal dari manusia, manusia sering kurang menghargai
keunikan setiap manusia lain. Semestinya karena berbeda, manusia berbeda pula
apa yang mereka pakai, namun kita, si manusia yang selalu sok benar ini kerap
kali memaksakan manusia lain harus istimewa menurut cara pandang kita, entah
mereka gemuk, entah kurus, tinggi, kecil, kita memaksa saja mereka memakai
ukuran kita. entah kulit mereka hitam, coklat putih, kalau menurut kita merah
adalah warna yang sempurna, jatuhnya jadi kedholiman ketika memaksa yang
berkulit sehitam arang memakai baju semerah darah, jadi seperti kepik raksasa
nantinya.
Standart kita
denga standart orang lain berbeda, inilah kenapa di dunia ini dibutuhkan
penghargaan terhadap orang lain. Orang lain membaca buku yang berbeda dengan
kita, bergaul dengan orang berbeda, makan makanan yang berbeda, dan melihat
hal-hal berbeda pula. Sehingga wajar bila mereka memiliki pikiran, prinsip,
tingkah laku yang berbeda pula. Bagi kita mungkin salah, tapi bagi mereka itu
benar. Sehingga dalam usaha mengajak kearah kebaikan tugas kita hanya sebatas mengajak,
bukan merubah.
Dalam suatu
kala, dalam dunia cerita mungkin kita perlu menempatkan diri menjadi orang
ketiga pelaku utama. Meletakkan diri di posisi orang lain, melihat pertimbangan
seseorang dan melihat bersama-sama, setiap orang memiliki sesuatu yang mereka
perhitungkan. Semoga kita dapat bersama-sama belajar menjadi pribadi lebih
baik.
Sapardi mengajarkan pada kita, cinta
itu sederhana saja. Ada syarat tapi tak banyak, dan itu pun sederhana. Ada
pertimbangan tapi tak sulit, itu pun juga sederhana. Katanya, seperti isyarat
yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada. Tiada?
bukan tiada secara harfiah menghilang, tapi menurut hemat saya ketiadaan yang
merujuk pada humbly (dengan kerendahan hati) dan unselfishly
(tidak mementingkan diri sendiri) atau telah meniadakan ego pribadi.
Kesederhanaan membuat kita
berbahagia tanpa banyak syarat. Dan bukan berarti kesederhanaan adalah hal
murahan yang tiada harganya, namun justru hal-hal sederhana yang menimbulkan
kebahagiaan adalah banyak hal yang tak terbeli dengan uang. Berilah satu nama,
kenyamanan. Adakah kenyamanan hanya dilabelkan untuk kendaraan mewah, apartemen
bintang lima, atau perjalanan kelas eksekutif. Jika seperti itu, ilmuan akan
segera merilis sebuah kesimpulan. Yang berhak berbahagia adalah mereka yang
kaya raya. Oh it’s not fair, is it? Sedang justru secara ilmiah, The New Economic Foundation sebuah lembaga kajian ekonomi USA mempunyai
sebuah temuan tentang hidup bahagia. Dengan
Menggunakan Indeks Planet Bahagia ditemukan sebuah hasil bahwa negara yang
memiliki indeks planet bahagia justru negara kecil seperti Vanuatu, bukan
negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, Jerman.
Setelah search di google, ternyata Vanuatu itu juga bagian
dari benua Amerika yang masih belum terjaman westernitas dunia barat. Dimana
seluruh aktivitas mereka adalah secara tradisional. Dan kajian ekonomi USA
mengakui bahwa mereka orang paling bahagia, kemana kerennya gadget dan mobil
mewah membawa para pemujanya kiranya?
Ini pendapat saya pribadi, materi memang penting.
Sepenting kesan pertama bertemu seseorang. Penting, namun belum utama. Banyak
hal memang lebih mudah jika semua hal tercukupi. Namun, life is not that easy.
Masalah justru bermunculan ketika kita mengutamakan materi. Karena itu,
alangkah membahagiakan bila materi menjadi sarana untuk hidup, bukan menjadi
tujuan hidup. Sehalnya dengan, ambil contoh pesawat. Pesawat adalah alat untuk
ke luar kota (misalnya), sehingga gunakan pesawat sebagai sarana, bukan keluar
kota harus memakai pesawat sehingga yang ada hanyalah bermunculan penyakit hati
jika tak kesampaian naik pesawat.
Banyak hal yang tentunya sulit membuat kita (terutama
yang nulis) untuk mencoba hidup sederhana, tapi tidak pernah ada perjalanan
berkilo meter tanpa tikungan pagar depan rumah, marilah keluar sedikit, untuk belajar
bersama-sama tak memandang segalanya dari materi, untuk bersederhana dalam bersikap,
untuk tak menjadikan materi sebagai tolok ukur segala sesuatu.
Aku bertemu beribu jenis manusia, namun tidak ada yang
seaneh kau, seunik, dan seajaib kau
Aku sempat berpikir, jangan-jangan kau alien tersesat dari
Mars
Tapi wujudmu sama dengan yang lain, kulit, hidung, rambut,
seperti orang pada umumnya. Tidak atau belum pernah kujumpai manusia mampu
menimbulkan rasa semacam itu pada diriku, dan kau mampu..
sejengkel itu sebahagia itu, dalam rentang yang panjang dan
waktu yang singkat
kemarin, saat baru saja bertemu denganmu aku memulai
kesimpulan aneh
selalu ada
kisah yang Allah ingin ceritakan pada saya mengenai banyak hal. Seperti
kemarin, lagi-lagi dalam perjalanan pulang ke kampong halaman tercinta. Kisah
kemarin macam-macam, kalau saya jabarkan bisa panjang banget jadinya ini
postingan, mulai dari lyn (angkot) yang saya tumpangi mogok kehabisan bensin,
dimana saya dan satu embak-embak ada di dalamnya dan Abang sopir sama mas-mas
dorong – dorong lyn nyari penjual bensin, bukan bermaksud jadi penumpang
durhaka ya, awalnya saya berniat turun kok, Eeh main dorong aja dua orang
laki-laki itu. Ya syudaaah. Di sini kyaknya Allah pengen bilang, Tuh
Futri…nyari duit itu susah, pake dorong-dorong mobil lyn segala. Mungkin gitu
ya, apalagi awalnya saya berniat nyari lyn lain, nggak susah senang
seperjuangan banget sih saya.
Ada cerita
lain, jadi pedagang asongan kemarin pada ngumpet jualannya, jualan secara
sembunyi-sembunyi. Awalnya saya juga bingung kenapa, menurut kesimpulan saya
pribadi, ada sidak dari para penggede PTKAI. Disini yang saya ingin soroti,
adalah security PTKAI yang melindungi para pengasong, mereka memanggil beberapa
pengasong lalu membisikkan entah apa, kemudian pengasong pada ngumpul di sambungan
gerbong, dan baru muncul kalau kereta sudah berjalan. Ooh ngerti saya ngerti,
ide mereka karena Pak atasan PTKAI biasanya turun ke stasiun (tempat berhenti),
kan otomatis para pengasong kelihatan dari luar, oooh boleh-boleh idenya. Ini
bukan masalah bantu membantu yang simbiosis mutualisme loh, apa untungnya
pengasong bagi para satpam, kecuali kalau mereka juga beli jajan, tapi ini
masalah kemanusiaan. Saling membantu yang lebih susah. (y) (y)
Tapi diantara
ada kisah yang paling menyentak saya, kemarin itu saya duduk di dekat jendela,
karena belum sempat buat sarapan, saya bawa bekal sariroti. Demi kesopanan dan
kesungkanan, saya tawari juga bapak di depan saya. “Pak, silakan Pak, roti.”
begitu dua kali, tapi kok si bapak lempeng-lempeng aja nggak ada reaksi, saya
tawari sekali lagi karena bapaknya nggak dengar mungkin pikir saya.
“Pak…Bapak…silakah Pak roti.” Saya lihat bapaknya benar-benar, Astagfirullah
Bapaknya nggak bisa lihat saya, bapaknya ternyata tunanetra. Saya langsung
diam.
Stasiun demi
stasiun kami lalui. Udah bosan baca buku, akhirnya saya tertidur. Sampai Malang
tiba-tiba bapaknya membangunkan saya;
“Mbak…mbak
turun stasiun mana?” Tanya beliau.
“Blitar Pak.”
“Oooh maaf
saya pikir Malang.”
Mulai dari
itulah saya punya keberanian untuk bertanya banyak hal. Jadi ternyata belum
bapak-bapak (masih mas-mas), umurnya sekitar 25. Bahkan mas itu bercerita
bagaimana ia bisa jadi tunanetra gara-gara kecelakaan ketika SMA, lalu putus
sekolah dan melanjutkan ke sekolah pijat tunanetra. Astagfirullah, ternyata mas
itu awalnya normal seperti kita. Dan sekarang bis melihat namun sangat buram.
Banyak hal
yang dia kemudian ceritakan, bagaimana mulai bekerja menjadi tukang pijat
hingga tarif pijatnya, yang paling terakhir kemudian cerita bagaimana
keluarganya menyuruhnya cepat menikah, “Laah nikah itu gampang, yang penting
kerja dulu, Mbak.” Katanya. Saya bisa tanya sebanyak itu ya… pembangunan raport
yang bagus hahaha *praktek psikolog gadungan.
Yang paling
lucu di akhir-akhir ia kemudian tanya apakah saya sudah punya pacar
*Diiieeewww. Saya jawab, “Saya seperti bapak, saya sekolah dulu, nggak
pacar-pacaran, langsung menikah.” si Mas tertawa kemudian memberi argumennya
panjang lebar.
Apa yang saya
ceritakan di atas mungkin bisa jadi renungan, betapa di dunia ini banyak orang
yang lebih susah dari kita, dari segi financial, fisik, atau keberuntungan
lainnya. Hanya saja, apakah kita bisa lebih bersyukur dari mereka.