selalu ada
kisah yang Allah ingin ceritakan pada saya mengenai banyak hal. Seperti
kemarin, lagi-lagi dalam perjalanan pulang ke kampong halaman tercinta. Kisah
kemarin macam-macam, kalau saya jabarkan bisa panjang banget jadinya ini
postingan, mulai dari lyn (angkot) yang saya tumpangi mogok kehabisan bensin,
dimana saya dan satu embak-embak ada di dalamnya dan Abang sopir sama mas-mas
dorong – dorong lyn nyari penjual bensin, bukan bermaksud jadi penumpang
durhaka ya, awalnya saya berniat turun kok, Eeh main dorong aja dua orang
laki-laki itu. Ya syudaaah. Di sini kyaknya Allah pengen bilang, Tuh
Futri…nyari duit itu susah, pake dorong-dorong mobil lyn segala. Mungkin gitu
ya, apalagi awalnya saya berniat nyari lyn lain, nggak susah senang
seperjuangan banget sih saya.
Ada cerita
lain, jadi pedagang asongan kemarin pada ngumpet jualannya, jualan secara
sembunyi-sembunyi. Awalnya saya juga bingung kenapa, menurut kesimpulan saya
pribadi, ada sidak dari para penggede PTKAI. Disini yang saya ingin soroti,
adalah security PTKAI yang melindungi para pengasong, mereka memanggil beberapa
pengasong lalu membisikkan entah apa, kemudian pengasong pada ngumpul di sambungan
gerbong, dan baru muncul kalau kereta sudah berjalan. Ooh ngerti saya ngerti,
ide mereka karena Pak atasan PTKAI biasanya turun ke stasiun (tempat berhenti),
kan otomatis para pengasong kelihatan dari luar, oooh boleh-boleh idenya. Ini
bukan masalah bantu membantu yang simbiosis mutualisme loh, apa untungnya
pengasong bagi para satpam, kecuali kalau mereka juga beli jajan, tapi ini
masalah kemanusiaan. Saling membantu yang lebih susah. (y) (y)
Tapi diantara
ada kisah yang paling menyentak saya, kemarin itu saya duduk di dekat jendela,
karena belum sempat buat sarapan, saya bawa bekal sariroti. Demi kesopanan dan
kesungkanan, saya tawari juga bapak di depan saya. “Pak, silakan Pak, roti.”
begitu dua kali, tapi kok si bapak lempeng-lempeng aja nggak ada reaksi, saya
tawari sekali lagi karena bapaknya nggak dengar mungkin pikir saya.
“Pak…Bapak…silakah Pak roti.” Saya lihat bapaknya benar-benar, Astagfirullah
Bapaknya nggak bisa lihat saya, bapaknya ternyata tunanetra. Saya langsung
diam.
Stasiun demi
stasiun kami lalui. Udah bosan baca buku, akhirnya saya tertidur. Sampai Malang
tiba-tiba bapaknya membangunkan saya;
“Mbak…mbak
turun stasiun mana?” Tanya beliau.
“Blitar Pak.”
“Oooh maaf
saya pikir Malang.”
Mulai dari
itulah saya punya keberanian untuk bertanya banyak hal. Jadi ternyata belum
bapak-bapak (masih mas-mas), umurnya sekitar 25. Bahkan mas itu bercerita
bagaimana ia bisa jadi tunanetra gara-gara kecelakaan ketika SMA, lalu putus
sekolah dan melanjutkan ke sekolah pijat tunanetra. Astagfirullah, ternyata mas
itu awalnya normal seperti kita. Dan sekarang bis melihat namun sangat buram.
Banyak hal
yang dia kemudian ceritakan, bagaimana mulai bekerja menjadi tukang pijat
hingga tarif pijatnya, yang paling terakhir kemudian cerita bagaimana
keluarganya menyuruhnya cepat menikah, “Laah nikah itu gampang, yang penting
kerja dulu, Mbak.” Katanya. Saya bisa tanya sebanyak itu ya… pembangunan raport
yang bagus hahaha *praktek psikolog gadungan.
Yang paling
lucu di akhir-akhir ia kemudian tanya apakah saya sudah punya pacar
*Diiieeewww. Saya jawab, “Saya seperti bapak, saya sekolah dulu, nggak
pacar-pacaran, langsung menikah.” si Mas tertawa kemudian memberi argumennya
panjang lebar.
Apa yang saya
ceritakan di atas mungkin bisa jadi renungan, betapa di dunia ini banyak orang
yang lebih susah dari kita, dari segi financial, fisik, atau keberuntungan
lainnya. Hanya saja, apakah kita bisa lebih bersyukur dari mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar