Sabtu, 01 Februari 2014

parade kisah hikmah


selalu ada kisah yang Allah ingin ceritakan pada saya mengenai banyak hal. Seperti kemarin, lagi-lagi dalam perjalanan pulang ke kampong halaman tercinta. Kisah kemarin macam-macam, kalau saya jabarkan bisa panjang banget jadinya ini postingan, mulai dari lyn (angkot) yang saya tumpangi mogok kehabisan bensin, dimana saya dan satu embak-embak ada di dalamnya dan Abang sopir sama mas-mas dorong – dorong lyn nyari penjual bensin, bukan bermaksud jadi penumpang durhaka ya, awalnya saya berniat turun kok, Eeh main dorong aja dua orang laki-laki itu. Ya syudaaah. Di sini kyaknya Allah pengen bilang, Tuh Futri…nyari duit itu susah, pake dorong-dorong mobil lyn segala. Mungkin gitu ya, apalagi awalnya saya berniat nyari lyn lain, nggak susah senang seperjuangan banget sih saya.
Ada cerita lain, jadi pedagang asongan kemarin pada ngumpet jualannya, jualan secara sembunyi-sembunyi. Awalnya saya juga bingung kenapa, menurut kesimpulan saya pribadi, ada sidak dari para penggede PTKAI. Disini yang saya ingin soroti, adalah security PTKAI yang melindungi para pengasong, mereka memanggil beberapa pengasong lalu membisikkan entah apa, kemudian pengasong pada ngumpul di sambungan gerbong, dan baru muncul kalau kereta sudah berjalan. Ooh ngerti saya ngerti, ide mereka karena Pak atasan PTKAI biasanya turun ke stasiun (tempat berhenti), kan otomatis para pengasong kelihatan dari luar, oooh boleh-boleh idenya. Ini bukan masalah bantu membantu yang simbiosis mutualisme loh, apa untungnya pengasong bagi para satpam, kecuali kalau mereka juga beli jajan, tapi ini masalah kemanusiaan. Saling membantu yang lebih susah. (y) (y)
Tapi diantara ada kisah yang paling menyentak saya, kemarin itu saya duduk di dekat jendela, karena belum sempat buat sarapan, saya bawa bekal sariroti. Demi kesopanan dan kesungkanan, saya tawari juga bapak di depan saya. “Pak, silakan Pak, roti.” begitu dua kali, tapi kok si bapak lempeng-lempeng aja nggak ada reaksi, saya tawari sekali lagi karena bapaknya nggak dengar mungkin pikir saya. “Pak…Bapak…silakah Pak roti.” Saya lihat bapaknya benar-benar, Astagfirullah Bapaknya nggak bisa lihat saya, bapaknya ternyata tunanetra. Saya langsung diam.
Stasiun demi stasiun kami lalui. Udah bosan baca buku, akhirnya saya tertidur. Sampai Malang tiba-tiba bapaknya membangunkan saya;
“Mbak…mbak turun stasiun mana?” Tanya beliau.
“Blitar Pak.”
“Oooh maaf saya pikir Malang.”
Mulai dari itulah saya punya keberanian untuk bertanya banyak hal. Jadi ternyata belum bapak-bapak (masih mas-mas), umurnya sekitar 25. Bahkan mas itu bercerita bagaimana ia bisa jadi tunanetra gara-gara kecelakaan ketika SMA, lalu putus sekolah dan melanjutkan ke sekolah pijat tunanetra. Astagfirullah, ternyata mas itu awalnya normal seperti kita. Dan sekarang bis melihat namun sangat buram.
Banyak hal yang dia kemudian ceritakan, bagaimana mulai bekerja menjadi tukang pijat hingga tarif pijatnya, yang paling terakhir kemudian cerita bagaimana keluarganya menyuruhnya cepat menikah, “Laah nikah itu gampang, yang penting kerja dulu, Mbak.” Katanya. Saya bisa tanya sebanyak itu ya… pembangunan raport yang bagus hahaha *praktek psikolog gadungan.
Yang paling lucu di akhir-akhir ia kemudian tanya apakah saya sudah punya pacar *Diiieeewww. Saya jawab, “Saya seperti bapak, saya sekolah dulu, nggak pacar-pacaran, langsung menikah.” si Mas tertawa kemudian memberi argumennya panjang lebar.
Apa yang saya ceritakan di atas mungkin bisa jadi renungan, betapa di dunia ini banyak orang yang lebih susah dari kita, dari segi financial, fisik, atau keberuntungan lainnya. Hanya saja, apakah kita bisa lebih bersyukur dari mereka.

Tidak ada komentar: