Biasanya
kalau lagi sendiri terus sudah capek walking-in blog orang-orang, sudah panas
telinga dengerin suara bule di youtube, sudah panas kedua mata buat baca tembar
buku berikutnya. Biasanya saya cumin diam, mandangin layar monitor laptop yang
biasanya lembar Ms Word kosong karena kalau suntuk begitu selalu tidak berminat
ngapa-ngapain.
Laptop saya
sudah saya set setiap menit muncul screensaver. Setiap kali muncul, saya
gerak-gerakkan kursor hingga gambar screen yang baru muncul itu segera
terbirit-birit sembunyi, begitu berulang-ulang hingga tangan saya capek dan
saya biarkan saja gambarnya bergantian show di depan saya.
Gambar apa
mereka? beberapa mimpi. Yang seringkali kujunjung tinggi dan kubanggakan. Lalu
entah ada apa dengan diri saya. Saya jadi diliputi bersalah dengan gambar-gambar
itu. Saya diserbu puluhan pertanyaan. Ya Allah, Apa yang salah dengan segala
mimpi ini? Ya Allah, apakah mimpi saya engkau ridhoi. Dan Ya Allah, Ya Allah
yang lain. Dan sisi melankolis menguasai diri saya : menangis.
Ada sesuatu
yang ingin saya ceritakan, bukan untuk apa-apa. Semoga teman-teman pembaca bisa
belajar dari pengalaman saya begitu saja. Saya yakin, diantara pengunjung blog
saya (yang Alhamdulillah semakin ramai) ada kiranya satu atau dua yang
terdampat pada tulisan ini. Dan semoga ada hikmah.
Ini bermula
saat saya akhir semester dua (hampir tiga tahun lalu). Saat saya pada posisi
paling terpuruk karena sebuah keputusan yang harus saya ambil. Saat saya jatuh
bangun membangun IPK, saat saya mulai bekerja di sebuah bimbingan belajar
anak-anak China yang super ketat peraturannya. Intinya, hidup saya sedang saya
mulai. Dari penghasilan ngajar itu saya sisihkan uang untuk membeli modem.
Sejak itu saya mengenal dunia blogger.
Blog menjadi
pelampiasan saya. Saya memiliki akun unknown people yang aktif saya kunjungi.
Dan bermula dari sinilah, rasa iri itu muncul. Beberapa akun blog yang saya
ikuti (selalu) adalah beberapa milik seseorang yang dalam posisi yang sangat
membuat saya iri. Tulisan-tulisan bagus (dan disukai banyak orang),
sekolah-sekolah mentereng, pengalaman luar biasa, tempat yang mereka kunjungi
keren, foto mereka apalagi. Dan itu menyulap hidup saya sudah : saya kemudian
ingin hidup seperti mereka.
Saya memiliki
alasana kuat. Jika saya menjadi seperti mereka, saya akan bermanfaat bagi
banyak orang, saya juga sudah tentu bisa membahagiakan kedua orangtua saya.
Akhirnya saya membuat seratus daftar mimpi. Dan mengikat diri saya untuk
menurutinya. Pandangan saya, saya akan terlihat keren dengan semua yang saya
impikan itu.
Silih
bergantinya tahun, banyak yang akhirnya terwujud memang. Tapi lebih banyak yang
belum. Saya selalu berpositif thinking kepada Allah. Pasti nanti kan Ya Allah?
Segera kan? Saya hidup seperti dikejar-kejar. Saya bahkan pernah down berat
karena satu hal yang saya perjuangkan tak terwujud. Hingga Ibu saya telepon
memberi motivasi pun saya tak mampu berkata-kata (sama sekali). Pasalnya, saya
memang mau serba instan kemenangan itu, dalam dua tahun terakhir ini harus
terwujud seratus mimpi saya. Apakah adil?
Saya masih
menyimpan dan mempercayai daftar mimpi saya hingga beberapa minggu yang lalu
ketika mencari sebuah file penting di balik tumpukan buku saya menemukan sebuah
buku hadiah Ayah yang belum sempat saya baca (forgive me, Dad :( ). Buku (dan beberapa novel lain) itu
dibelikan beliau saat jalan-jalan keluarga Ke Yogyakarta. Novelnya sudah lama
rampung, bukunya? (Buku itu berjudul Keajaiban Hati, Imam Al-Ghazali)
Saya benar-benar ditonjok, dianiaya oleh buku
itu. Kenapa begitu? Kembali lagi kepada mimpi saya, saya mimpi banyak hal yang
terlihat keren di mata manusia (bagaimana di mata Allah?) meskipun dengan dalih
ingin bermanfaat bagi orang lain, Ya Allah adakah saya sudah bisa memeri
manfaat orang-orang sekitar saya? :( Saya ingin memberi manfaat atau
mendapat pujian. Saya ingin membahagiakan orangtua atau ingin memposting foto-foto di tempat keren di blog? :(
Akhirnya saya
mengobrak – abrik daftar mimpi saya. Saya benahi beberapa dan saya tata hati saya. Jangan pautkan pada mimpi tapi tautkan pada yang Maha Mewujudkan Mimpi. Saya ingat-ingat
selalu kata-kata Imam Al-Ghazali dalam buku itu, intinya dari semua hidup kita
dari cita-cita kita, sebenarnya siapa yang kita tuju, puja puji manusia atau
kemuliaan di mata Allah. Tanyakan kepada hati kecil kita untuk apa semua
cita-cita itu? jika semata untuk terlihat keren di mata manusia, tentu kita
akan sadar. Selama ini kita mati-matian berjuang memuja apa?
Semoga kita
bersama-sama saling meluruskan niat. Mari saling berbenah.
Surabaya, 24 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar