Jumat, 19 April 2013

Ayah

me & devi


Ayah menatapku dua jenak, lalu senyum terkembang di bibirnya. “Kau terlihat seperti wanita dewasa.” Katanya kemudian, kutahan airmataku agar tak rompal terjatuh. Ku yakin, ayah menguat – kuatkan hatinya pula. “Ayah,” Hanya itu kata yang berhasil keluar dari mulutku, kelu sekali, seperti seluruh gerahamku menyatu. “Pergilah.” Lalu pecahlah tangisku, ku peluk ayah erat sekali malam itu. Aku bingung mengapa rasanya menjadi berlebihan seperti itu. Bahwa bagiku, tidak ada tangan pundak sekokoh pundak ayah, bahwa tidak ada yang sehangat genggaman ayah. Aku tidak tahu bagaimana cara mencintai laki – laki selain ayah. Aku belum membayangkan tangan yang akan mengenggamku ketika aku kedinginan adalah bukan telapak tangan ayah yang kasar namun sangat hangat.
Ini untuk devi, my deskmate…kaget banget waktu dapat sms “Put, aku mau married.” Ha? nggak nyangka (nggak nyangka aku diduluin :D). Yah, kenal ketika semester akhir – akhir saat nggak sempet banyak bermain, hanya si rajin macam devi banyak membawa perubahan. Kangen kamu dev. kangen beli cilot, aku isi urat, kamu isi telur. Kangen godain kamu yang nggak bisa bilang “s”, bisanya “ts” hara – hara pas waktu kecil sama guru TPA suruh ngapalin “tsa” sampai bener. Kangen beli bakso sama es pleret di alun2, kangen kamu nasehatin kaya dulu. Dan tiba – tiba, kamu berubah menjadi permainsuri. Barakallahulakuma wa barakah ‘alaikuma bil khair…Doain aku segera nyusul, hehe

this's mine, where's yours?


I bet everyone has places that they really want to go…whether they realize it or not. So do I, I have many places that I hope one day I will wander there. Buy some meals and take many photos. So…this is mine…
 
Like many muslims, I also really want to go Makkah. A place where my Prophet has born and start to perform his risalah. A place that makes many people in the world spending their savings money for doing ibadah hajji. Despite I don’t know when I will go there, but really, someday I will (inshaallah)

Sydney, New South Wales
I don’t understand, what is in that city, whether I will find my prince over there or not, but there’s pressing my heart to fulfill my pretension, I want to take many photos with various pose in front of Sydney Opera House, I want to take a walk on the Sydney Bridge Harbour, and let my Jilbab swings because of blast of wind. I want to play the sand in the Bondy beach and walking on oxford street. This a place where I want to continuo my study. Despite I don’t know when I will go there, but really, someday I will (inshaallah)
 
Turkey
This is a place where you can taking a lunch in Asia and having dinner at an Europe restaurant. This is place where khilafah Islamiyah ever victorious many centuries ago. I want to visit Haiga Shopia and come to blue mosque…I don’t have many reason but I really want to go.
 
Palestina
Muslims are like a body, when some part feels injury some other will respect. If Allah give me a chance, I want to to Palestina, I want to tell the Palestinian for never sad, because Allah has prepared a bautiful place to then in Jannah. I want to read al – Quran with them, I want to take a pray and crying out loud with them. T.T
 
Freiburg
I don’t like many places in Auropa and America, but if you ask me to answer where a place in Auropa that I want to go, the answer is Freiburg. I don’t know, but to me. my first sight to Friburg is just kinda dazzling. I have a friend who studies at German and he said to me that Freiburg is truly amazing,
 
Jeju Island, South Korea
a part in my mind that there’s a little stupid things is….if I watch a movie and I like a main actor, I will like whatever which related to that movie. It’s include Jeju. I know Jeju after I watching Lie to Me. It’s a crazy things but I bet that everyone will say that Jeju is more than beautiful place.
i still have many others, but my time has over to tell all of that, i hope someday i could continou my story. So do you, i want to hear, where's the place you want to go.
Now...i will do my homework again and again. i have headache, maybe it's because i was doing many works outside of normal. I hope holyday will come fastly...

Kamis, 18 April 2013

Tabung Bambu









“Manusia seringkali merasa bahwa ia telah memberi segalanya untuk Tuhan. hingga kemudian mereka terbentur pada satu mata pelajaran yang mereka sebut kegagalan, mereka lalu berpikir, sesuatu yang patut disalahkan atas semua itu adalah Tuhan.”
Diplomatis, menusuk. Lagi – lagi kakak memojokkanku. Sore itu, kami dditemani sekotak cakue Mama minikmati sinar sore berwarna mustard di tepian air mancur monly. “Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan.” Kilahku dengan tegas, “ Aku hanya mengalami kesulitan untuk memahami maksud Tuhan.”
Kemudian secuat senyum menyembul dari bibir kakak, senyum yang seperti tertulis “iya aku mengerti.” Kemudian kakak berjalan menuju air mancur kecil di tepian monly. Monly adalah air mancur pusat yang dikelilingi puluhan anak air mancur dalam berbagai bentuk, pemerintah Darlinghurst membangunnya sebagai symbol bahwa kejayaan yang besar itu tak luput karena kejayaan – kejayaan kecil yang mengelilinginya. “Perhatikan ini.” Kata kakak sembari memainkan benda semacam tabung bamboo dari semen atau bahan sejenisnya. “Ia hanya akan berhasil mengguyurkan air setelah dengan susah payah ia mengumpulkan kucuran air dari induknya ini, atau setelah perut tabungnya penuh sesak berisi air – air.” Lalu dengan menadahkan kedua tangan, kakak mengambil air dari bejana di bawahnya dan memasukkannya ke dalam tabung bamboo buatan tadi, seketika tabung itu mampu mengguyurkan air dengan indah.”
“Tuhan hanya ingin kau membantuNya melakukannya. Bukan karena Dia tak mampu. Tapi karena agar kau merasa memiki andil atas usahamu.”
“Aku sudah berusaha.”
“Adakalanya jika tabung bambumu besar, kau tidak bisa hanya sekali meraupkan air untuknya. Mungkin kau berpuluh – puluh kali. Bukan karena Tuhan ingin membuatmu lelah. Tapi Ia ingin melihatmu menangis haru ketika melihat keletihanmu terbayar.”
            Kemudian kakak berjalan, meninggalkan aku, cakue dan sepeda kami. Mungkin kakak jengkel dengan sikapku. Kami terlahir dari rahim yang sama dengan sifat yang sangat jauh berbeda. Mama bilang, jika kakak adalah William yang tangguh, maka aku adalah rapunsel kecil yang terkurung di dalam istana peri. Kakak sangat kuat dan aku lemah. Kakak pernah bilang, “Kau harus menguat…tidak selamanya pohon – pohon Quince akan selalu melindungi tulip – tulip kecil.” Katanya sambil mengacak – acak rambut keritingku waktu itu.

Selasa, 16 April 2013

Paddington : Elegi


Kubanting tumpukan kertas itu sambil menangis, perkataan professor Gerald masih mengiang – ngiap “Are you sure that you’ve brought out your best? certainly, I will always be patient to wait your best really figure out of you. repair it!” Mengapa bapak gendut itu selalu merasa ada yang tidak sepurna dari tulisanku, ini tulisan kelimaku, dimana satu tulisan bisa aku kerjakan dalam lima hari tidak tidur. Kacau !
Lagi – lagi aku hanya terdiam, kuusap bekas – bekas airmata yang awalnya tak kupedulikan, Fisher hari itu tampak sedikit lebih sepi dari biasaynya, sehingga kupikir aku lebih leluasa mengekspresikan kesedihan. Melihat tumpukan file di depan mata semakin membuat sakit hati, akhirnya aku hanya diam mematung menatap jendela luar gedung perpustakaan Fisher.
Kepalaku terlalu pening untuk berdiri, hanya duduk diam (tepatnya bengong) tanpa melakukan apa pun di perpustakaan sesibuk Fisher adalah konyol. Akhirnya kupejamkan mataku untuk menyeimbangkan tubuh agar tak jatuh ke meja. “Library is not a place to sleep.” Suara dari meja sebelah mengagetkan, Salman? sejak kapan ia duduk di sana. Entah, aku seperti salah tingkah, banyak sekali kekonyolan yang baru saja kulakukan, membanting tumpukan file, menangis seperti orang bodoh, bengong, menutup mata hingga terlihat seperti tertidur.eerrrr
“Sejak kapan kau di situ?”
“Sejak sebelum kau datang.” jawabnya tanpa berhenti mengetik. “masalah itu bukan untuk ditangisi, apalagi itu sebuah projek yang menuntut waktu. kau menangis justru menambah masalah.” Ia bekata entengnya seolah tak pernah menghadapi masalah.
“Kau tidak tahu masalahku.”
“Yah…kau tidak usah bercerita, tumpukan file akan sangat menjengkelkan setelah kerja seminggumu kemarin sama sekali tak dihargai.”
“Kau hanya belum pernah merasakan penolakan, kau begitu mudah berkata begitu karena perjalananmu selalu mulus. Dengan mudah menerima surat approval tanpa perlu jatuh bangun, tanpa perlu bersusah payah berpikir karena otakmu cerdas, sehingga kau dengan mudah berkata bahwa aku cengeng.”
“Yah…Tuhan memang hanya memberi  masalah pada kau seorang.” deg, kalimat itulah yang membuatku terdiam, ini perkataanku seolah akulah di dunia ini satu – satunya orang yang mempunyai masalah.
“Bukan begitu maksudku…”
“Kalau kau terbiasa menangis ketika menerima masalah, kau akan melakukannya lagi jika masalah itu datang lagi. Kau berpikir aku tak pernah menerima masalah, itu sangat wajar karena manusia seringkali ingin menjadi orang lain.” Salman membenarkan letak duduknya, kemudian mengeluarkan sebuah amplop. “Tawaran beasiswa doctoral, kau mau?”
Hips, aku nyaris terjatuh jika tak berpegang pada meja. Lanjut Salman “Kalau kau mau, ambilah. Aku belum ingin.”
“Konyol, tidak mungkin aku mengambilnya.” kami masih terus bercakap – cakap dari seberang meja. sejenak aku terlupa file – file sialan tadi.
“Mereka membeliku, memintaku untuk mengerjakan tumpukan file yang akan membuatku menjadi gila setiap hari lalu menukarnya dengar selembar kertas ini.”
“Tapi kau menolak dan menghindari masalah itu.” Tantangku kemudian, aku tahu Salman pasti mempunyai alasan diplomatis untuk menolak tawaran itu, aku hanya mencoba memancing apa yang tidak ia katakan.”
“Sudahlah…kerjakan projekmu.”
“Aku bukan bermaksud apa – apa, tapi sepertinya Tuhan sayang sekali padamu.”
“Kau tidak mengenalku.”
“Mungkin aku tak setegar kau, karena bagiku semua ini baru. Aku anak ayah yang sering menangis malam – malam karena tidak bisa tidur dan ingin pulang, aku mungkin tidak sekuat kau, untuk tetap terjaga berhari – hari dengan tumpukan file mengenaskan. Aku hanya ingin usahaku sedikit berhasil dan mengalami kemajuan, setelah aku hampir setiap hari meminum dua cangkir kopi agar mataku bertahan, menghabiskan waktu berjam – jam di perpustakaan yang membuatku seperti penderita wazir, melahap ratusan bahkan ribuan. Aku hanya merasa, apakah yang kurang yang kulakukan, apakah Tuhan tidak melihat usahaku.” Sialannya, aku menangis lagi, Salman hanya diam, kali ini dia berhenti mengetik, telunjuknya mengetuk – ketuk tanda ‘enter’ berulang – ulang, entah apa maksudnya.
“Waktu itu…” Kata Salman, “Malam ketika aku melihat ibu memijiti punggung ayah, lalu gemeretak dari dari atap mengagetkan kami, aku pikir getaran biasa seperti  saat fuso – fuso pengangkut kelapa itu melewati jalan tanah depan rumah kami, tapi gemeretak itu kian menguat hingga aku merasakan beberapa patahan genteng mengenai keningku, semua hanya sekejap – tidak sampai satu menit…Lalu aku terbangun duaminggu kemudian dengan kepala penuh perban, setiap aku menangis ingin pulang, ibu membawakanku majalah bekas tentang gambar rumah, ibu selalu bilang rumah kami akan diganti oleh Allah dengan yang seperti di gambar itu. ibu bilang “Tapi kamu sendiri Man yang membuatnya, kamu mau kan membuatkannya untuk ibu.” Mata Salman menerawang, ada yang mulai basah di hatiku, Lanjut Salman “ Dan yang teramat menyakitkan ketika ayah berkata untuk terakhir kali sembari memegang tanganku, Buatkan rumah yang bagus untuk ibumu. Sejak itu, bahkan bukan menjadi menggebu untuk belajar merancang bangunan, aku sangat teramat membenci pekerjaan merancang, karena hanya mengingatkanku pada kematian ayah. Hingga suatu saat ibu berkata, “Berjuang itu tentang sesuatu yang kau benci yang kau mengubahnya menjadi kawanmu.” Yah seperti seperti yang sering ku katakana padamu, sehingga setelah itu tugasku adalah bekerja keras untuk sesuatu yang kubenci.”
“Kau benar,” Jawabku, “Aku harus bekerja lebih keras, apalagi ini untuk sesuatu yang kucintai, bukan ku benci.”
Lalu Salman tersenyum, kemudian menunjukkan sketsa sebuah jembatan. “Simpan sebagai kenang – kenangan, jangan di jual.” katanya kemudian.
“Kau serius menolak tawaran itu?”
“Kupertimbangkan lagi. Aku ingin pulang, ingin menikah.” tawanya meledak mengakhiri kalimat.