Kamis, 18 April 2013

Tabung Bambu









“Manusia seringkali merasa bahwa ia telah memberi segalanya untuk Tuhan. hingga kemudian mereka terbentur pada satu mata pelajaran yang mereka sebut kegagalan, mereka lalu berpikir, sesuatu yang patut disalahkan atas semua itu adalah Tuhan.”
Diplomatis, menusuk. Lagi – lagi kakak memojokkanku. Sore itu, kami dditemani sekotak cakue Mama minikmati sinar sore berwarna mustard di tepian air mancur monly. “Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan.” Kilahku dengan tegas, “ Aku hanya mengalami kesulitan untuk memahami maksud Tuhan.”
Kemudian secuat senyum menyembul dari bibir kakak, senyum yang seperti tertulis “iya aku mengerti.” Kemudian kakak berjalan menuju air mancur kecil di tepian monly. Monly adalah air mancur pusat yang dikelilingi puluhan anak air mancur dalam berbagai bentuk, pemerintah Darlinghurst membangunnya sebagai symbol bahwa kejayaan yang besar itu tak luput karena kejayaan – kejayaan kecil yang mengelilinginya. “Perhatikan ini.” Kata kakak sembari memainkan benda semacam tabung bamboo dari semen atau bahan sejenisnya. “Ia hanya akan berhasil mengguyurkan air setelah dengan susah payah ia mengumpulkan kucuran air dari induknya ini, atau setelah perut tabungnya penuh sesak berisi air – air.” Lalu dengan menadahkan kedua tangan, kakak mengambil air dari bejana di bawahnya dan memasukkannya ke dalam tabung bamboo buatan tadi, seketika tabung itu mampu mengguyurkan air dengan indah.”
“Tuhan hanya ingin kau membantuNya melakukannya. Bukan karena Dia tak mampu. Tapi karena agar kau merasa memiki andil atas usahamu.”
“Aku sudah berusaha.”
“Adakalanya jika tabung bambumu besar, kau tidak bisa hanya sekali meraupkan air untuknya. Mungkin kau berpuluh – puluh kali. Bukan karena Tuhan ingin membuatmu lelah. Tapi Ia ingin melihatmu menangis haru ketika melihat keletihanmu terbayar.”
            Kemudian kakak berjalan, meninggalkan aku, cakue dan sepeda kami. Mungkin kakak jengkel dengan sikapku. Kami terlahir dari rahim yang sama dengan sifat yang sangat jauh berbeda. Mama bilang, jika kakak adalah William yang tangguh, maka aku adalah rapunsel kecil yang terkurung di dalam istana peri. Kakak sangat kuat dan aku lemah. Kakak pernah bilang, “Kau harus menguat…tidak selamanya pohon – pohon Quince akan selalu melindungi tulip – tulip kecil.” Katanya sambil mengacak – acak rambut keritingku waktu itu.

Tidak ada komentar: