Kubanting
tumpukan kertas itu sambil menangis, perkataan professor Gerald masih mengiang
– ngiap “Are you sure that you’ve brought out your best? certainly, I will
always be patient to wait your best really figure out of you. repair it!”
Mengapa bapak gendut itu selalu merasa ada yang tidak sepurna dari tulisanku,
ini tulisan kelimaku, dimana satu tulisan bisa aku kerjakan dalam lima hari
tidak tidur. Kacau !
Lagi
– lagi aku hanya terdiam, kuusap bekas – bekas airmata yang awalnya tak kupedulikan,
Fisher hari itu tampak sedikit lebih sepi dari biasaynya, sehingga kupikir aku
lebih leluasa mengekspresikan kesedihan. Melihat tumpukan file di depan mata
semakin membuat sakit hati, akhirnya aku hanya diam mematung menatap jendela
luar gedung perpustakaan Fisher.
Kepalaku
terlalu pening untuk berdiri, hanya duduk diam (tepatnya bengong) tanpa
melakukan apa pun di perpustakaan sesibuk Fisher adalah konyol. Akhirnya
kupejamkan mataku untuk menyeimbangkan tubuh agar tak jatuh ke meja. “Library
is not a place to sleep.” Suara dari meja sebelah mengagetkan, Salman? sejak
kapan ia duduk di sana. Entah, aku seperti salah tingkah, banyak sekali
kekonyolan yang baru saja kulakukan, membanting tumpukan file, menangis seperti
orang bodoh, bengong, menutup mata hingga terlihat seperti tertidur.eerrrr
“Sejak
kapan kau di situ?”
“Sejak
sebelum kau datang.” jawabnya tanpa berhenti mengetik. “masalah itu bukan untuk
ditangisi, apalagi itu sebuah projek yang menuntut waktu. kau menangis justru
menambah masalah.” Ia bekata entengnya seolah tak pernah menghadapi masalah.
“Kau
tidak tahu masalahku.”
“Yah…kau
tidak usah bercerita, tumpukan file akan sangat menjengkelkan setelah kerja
seminggumu kemarin sama sekali tak dihargai.”
“Kau
hanya belum pernah merasakan penolakan, kau begitu mudah berkata begitu karena
perjalananmu selalu mulus. Dengan mudah menerima surat approval tanpa perlu
jatuh bangun, tanpa perlu bersusah payah berpikir karena otakmu cerdas,
sehingga kau dengan mudah berkata bahwa aku cengeng.”
“Yah…Tuhan
memang hanya memberi masalah pada kau
seorang.” deg, kalimat itulah yang membuatku terdiam, ini perkataanku seolah
akulah di dunia ini satu – satunya orang yang mempunyai masalah.
“Bukan
begitu maksudku…”
“Kalau
kau terbiasa menangis ketika menerima masalah, kau akan melakukannya lagi jika
masalah itu datang lagi. Kau berpikir aku tak pernah menerima masalah, itu
sangat wajar karena manusia seringkali ingin menjadi orang lain.” Salman
membenarkan letak duduknya, kemudian mengeluarkan sebuah amplop. “Tawaran
beasiswa doctoral, kau mau?”
Hips,
aku nyaris terjatuh jika tak berpegang pada meja. Lanjut Salman “Kalau kau mau,
ambilah. Aku belum ingin.”
“Konyol,
tidak mungkin aku mengambilnya.” kami masih terus bercakap – cakap dari
seberang meja. sejenak aku terlupa file – file sialan tadi.
“Mereka
membeliku, memintaku untuk mengerjakan tumpukan file yang akan membuatku
menjadi gila setiap hari lalu menukarnya dengar selembar kertas ini.”
“Tapi
kau menolak dan menghindari masalah itu.” Tantangku kemudian, aku tahu Salman
pasti mempunyai alasan diplomatis untuk menolak tawaran itu, aku hanya mencoba
memancing apa yang tidak ia katakan.”
“Sudahlah…kerjakan
projekmu.”
“Aku
bukan bermaksud apa – apa, tapi sepertinya Tuhan sayang sekali padamu.”
“Kau
tidak mengenalku.”
“Mungkin
aku tak setegar kau, karena bagiku semua ini baru. Aku anak ayah yang sering
menangis malam – malam karena tidak bisa tidur dan ingin pulang, aku mungkin
tidak sekuat kau, untuk tetap terjaga berhari – hari dengan tumpukan file
mengenaskan. Aku hanya ingin usahaku sedikit berhasil dan mengalami kemajuan,
setelah aku hampir setiap hari meminum dua cangkir kopi agar mataku bertahan,
menghabiskan waktu berjam – jam di perpustakaan yang membuatku seperti
penderita wazir, melahap ratusan bahkan ribuan. Aku hanya merasa, apakah yang
kurang yang kulakukan, apakah Tuhan tidak melihat usahaku.” Sialannya, aku
menangis lagi, Salman hanya diam, kali ini dia berhenti mengetik, telunjuknya
mengetuk – ketuk tanda ‘enter’ berulang – ulang, entah apa maksudnya.
“Waktu
itu…” Kata Salman, “Malam ketika aku melihat ibu memijiti punggung ayah, lalu
gemeretak dari dari atap mengagetkan kami, aku pikir getaran biasa seperti saat fuso – fuso pengangkut kelapa itu
melewati jalan tanah depan rumah kami, tapi gemeretak itu kian menguat hingga
aku merasakan beberapa patahan genteng mengenai keningku, semua hanya sekejap –
tidak sampai satu menit…Lalu aku terbangun duaminggu kemudian dengan kepala
penuh perban, setiap aku menangis ingin pulang, ibu membawakanku majalah bekas
tentang gambar rumah, ibu selalu bilang rumah kami akan diganti oleh Allah
dengan yang seperti di gambar itu. ibu bilang “Tapi kamu sendiri Man yang
membuatnya, kamu mau kan membuatkannya untuk ibu.” Mata Salman menerawang, ada
yang mulai basah di hatiku, Lanjut Salman “ Dan yang teramat menyakitkan ketika
ayah berkata untuk terakhir kali sembari memegang tanganku, Buatkan rumah yang
bagus untuk ibumu. Sejak itu, bahkan bukan menjadi menggebu untuk belajar
merancang bangunan, aku sangat teramat membenci pekerjaan merancang, karena
hanya mengingatkanku pada kematian ayah. Hingga suatu saat ibu berkata,
“Berjuang itu tentang sesuatu yang kau benci yang kau mengubahnya menjadi
kawanmu.” Yah seperti seperti yang sering ku katakana padamu, sehingga setelah
itu tugasku adalah bekerja keras untuk sesuatu yang kubenci.”
“Kau
benar,” Jawabku, “Aku harus bekerja lebih keras, apalagi ini untuk sesuatu yang
kucintai, bukan ku benci.”
Lalu
Salman tersenyum, kemudian menunjukkan sketsa sebuah jembatan. “Simpan sebagai
kenang – kenangan, jangan di jual.” katanya kemudian.
“Kau
serius menolak tawaran itu?”
“Kupertimbangkan
lagi. Aku ingin pulang, ingin menikah.” tawanya meledak mengakhiri kalimat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar