Around
a month ago, saya menemani my bestie classmate named Bekti buat ngejar tandatangan
persyaratan yudisium kelulusan. Bekti adalah orang yang banyak jasanya dalam many frustrating moments of mine menuju
yudisium, dialah saksi hidup yang melihat dengan mata kepalanya sendiri gimana
buteknya wajah hampir depresi saya selepas mencari dosen dan tetap tidak ada
kabar berhari-hari selama tiga minggu, menjadi luahan keluh kesah dalam
hari-hari penuh ketidakpastian para PHPers, yang menemani saya ngendon di
perpus fakultas sampai diusir kita sama penjaganya, dialah yang selalu
mengatakan “Bisa..bisa, masih ada waktu.” padahal itu deadline tinggal lima
hari dan saya belum ada gambaran kapan bisa menemui dosen untuk revisi. Mungkin
waktu itu bekti juga udah pesimis, tepi demi saya dia bohong begitu, Uuuuu
Bekti #pelukBekti.
Semua
itu tidak berlebihan. Perjalanan menuju yudisium bagi saya tidak lebih ringan
daripada proses skripsinya sendiri. Saya bahkan merasa, jika tidak ada
keajaiban Allah mungkin saya tidak bisa wisuda Juni kemarin. Bagaimana tidak,
bagaimana saya bisa menyelesaikan segala tetek bengek persyaratan yudisiun
dalam waktu tiga hari sedang normalnya dua atau minggu atau sebulan. Allah
menyulap dosen penguji saya yang super duper aduhai itu menjadi sangat baik
hati, Allah mengirim Eli, Mbak Inun, Mbak Meta untuk sama-sama telatnya kayak
saya, biar saya ada temennya telat, biar saya ada yang nebengin kemana-mana,
haha. Mengirimkan dosbing yang buaik luar biasa, sampai mau bela-belain telepon
dosen penguji biar ngoreksi revisian skripsi saya.
Seminggu
sebelum deadline saya telpon Ibuk, “Buk, sepertinya aku nggak bisa wisuda Juni,
nggak papa ya, Buk?” mau enggak nangis akhirnya nangis juga sambil bilang.
Meskipun ibuk bilang nggak papa, hati saya belum tenang. Yah, harapan Ibuk
pengen lihat saya wisuda Juni pupus, batin saya. Selanjutnya, hari-hari itu
terisi adalah tawakal saja. Berjalan dengan gontai ke kampus, berkumpul dengan
pejuang skripsi yang lain yang masih sama-sama belum ada kepastian apakah kami
bisa wisuda bulan depan. Kami benar-benar pasrah ya Allah, terserah Engkau.
Tapi
saya tetap sekuat tenaga positif thinking, meski jadi sensitive banget,
dikit-dikit nangis, status fb, twitter, bbm, wasap, semua, diliputi oleh satu
kata, tawakal. Karena saya yakin, saya sudah mengeluarkan semuanya. Saya sempat
tidak tidur semalaman demi mengejar target penyelesaian skripsi, bolak-balik
Blitar-Surabaya ngambil data, ngewer-ngewer Sammy (netbook kesangan) kemana pun
saya pergi, membagi perhatian antara realisasi dan laporan kemajuan PKM dan
draft skripsi. Saya hanya yakin, Allah akan membayar kelelahan saya.
H-3
pengumpulan berkas Yudisium pukul 08.10 di fotokopian, dosbing saya nelpon.
dosbing
: Mbak Futri dimana?
saya : di fotokopi, Bu.
dosbing
: Bisa ke kampus sekarang, di tunggu penguji untuk revisi
Saya
segera cuss ke kampus, menemui penguji untuk revisi dan tidak lupa dengan muka
melas dan pasrah.
penguji
: surat pernyataan jilid skripsi mana?
saya : hah? Saya belum revisi, Buk.
penguji
: Tidak usah, langsung saya acc. Cepat buat surat pernyataan jilid skripsi,
saya tunggu sampai jam empat, sekalian saya tandatangani pengesahannya.
Saya
tertegun, tiba-tiba ruang dosen terdengar instrumennya Abang Yiruma yang
judulnya River flows in You, saya seret tangan dosen penguji, lalu kami menari
tango #emanggaknyambung.
Ternyata
ini keajaiban tawakal, cara Allah mengajari saya apa itu pasrah pada-Nya, apa
itu optimis, apa itu menjaga dompet dari potocopi berulangkali karena tidak ada revisi ngahaha, (fyi, skripsi
saya 200 lembar).
Tawakal
adalah kepasarahn total, pada rencana dan ketentuan waktu Allah. Sehingga tetap
terjaga baik sangka pada-Nya meski kemarin jika saja hasilnya adalah saya tidak
jadi wisuda, karena kita tidak tahu, Allah Mahamemeri kejutan, sedang kita
hanya maha tidak tahu. So, trust His timing and keep tawakal.
Blitar
30 September 2014