-Tidak ada
murid yang bodoh, yang ada hanyalah mereka yang belum mendapat kesempatan
mendapat guru yang baik – Yohanes Surya
Membicarakan
masalah keterbelakangan, dalam konteks apapun (khususnya pendidikan) seringkali
akarnya hanya satu, masalah kesempatan. Bukan mereka yang belum mengerti lantas
bodoh, bukan berarti mereka yang tidak atau terlambat memiliki kemampuan
mengoperasikan internet lantas keterbelakang, semua hanya masalah kesempatan.
Ini yang
seharusnya sebagai bahan bakar syukur terbesar kita. Apabila kita hobi
membandingkan sekolah kita dengan almamater yang lebih ngejreng, lulusan yang
lebih terlihat berkualitas, fasilitas yang oh wow. Itu karena kita melihat ke
atas. Coba sedikit menoleh ke bawah, ribuan orang ternyata kurang seberuntung kita dalam hal kesempatan. Belum tentu jika
mereka lahir di tempat lain mereka juga tidak mengerti seperti itu.
Ada yang
harus kita renungkan, kiranya apakah perbedaan antara mahasiswa yang sering
tidur di kelas, pulangnya nongkrong, ketika ujian menyontek, dan skripsi hasil
jiplakan. Dengan Ibu-Ibu buta aksara yang dengan gigih menghafal huruf A, B, C
sama seperti yang dipelajari cucu mereka, dengan mata rabun, dengan sisa tenaga
seharian menjemur ikan, duduk di balai desa sambil menyusui anak mereka. Apa
bedanya? Apa jadinya ketika mereka bertukar posisi sebentar?
Terkadang ada
rasa tak terima di hati saya. Tidak, bukan bermaksud menyalahkan Tuhan. Tapi
betapa mereka yang mendapat kesempatan itu kurangnya bersyukur. Kurang
memaksimalkan apa yang bisa peroleh. Seharusnya semakin banyak mahasiswa
berpendidikan tinggi semakin banyak pula masyarakat intelektual Indonesia.
Karena orang yang pintar itu sudah seharusnya memintarkan orang lain, bukan
memintari.
Catatan
sedikit emosional ini saya tulis pasca menyelesaikan program keaksaraan
fungsional di Kecamatan Lekok (Pasuruan bagian Timur), dimana limabelas ribu
warganya tidak mengenal huruf sama sekali. Sebulan lebih seminggu bersama
mereka membuat saya banyak berpikir. Mereka akan tentu lebih meningkat kehidupannya
jika memperoleh pendidikan sejak awal. Tidak harus menjadi buruh potong ikan
yang sekilo hanya dibayar seribu. Mereka tentu lebih mampu mendampingi
putra-putri mereka belajar ketika mereka mengenal huruf sejak lama. Ohh
sayangnya. Ohh sayangnya.
Lekok, Pesisir Pasuruan |
Kemudian saya
kembali trenyuh ketika mendengar penuturan anak-anak mereka yang rata-rata
tidak lulus SMP. Lalu sampai kapan rantai keterbelakangan pendidikan ini
berakhir? Sampai kapan bapak Bupati? Sampai kapan bapak Presiden?
“Tak nak,
tak sekolah..tak bisa baca tulis. Tak pernah kemana-mana, kemana-mana ikut
rombongan.”—Bu Juwariyah
“Buk,
jangan lek balek ke Surabaya Buk, Kalau Ibu ke Surabaya bagaimana Ibu-Ibu di
sini Buk.” –Bu Halimah
“Maaf ya
Bu ya, tanya terus ya Bu ya, saya bodoh.” –Bu Mainah
Kami sedang belajar |
Entah mengapa
selepas acara kemarin, saya justru semakin merasa bodoh. Hanya sedikit yang
bisa kita berikan kepada mereka, tapi mereka memanfaatkan benar-benar, awalnya
dipostingan Menjejak Lekok #1 saya menulis bahwa mereka tidak butuh membaca dan
menulis, Saya salah besar. Mereka justru bersemangat sekali. Bahkan seringkali
mereka yang datang dulu daripada kami.
Tubuh tua bu
Masinah menggotong papan tulis, tak pernah sekali pun izin. Bu Juwariyah yang
sekali pun belum bisa dan selalu mengelak ketika di tunjuk, selalu duduk
dibangku terdepan, dan yang paling menangis ketika kita bilang akan kembali ke
Surabaya. Bu Mainah, Bu Rubayyah yang menulis sambil menyusui anak. Bu Zubaidah
dengan tangan kasar selepas memotong puluhan kilo ikan. Mereka se-niat itu
untuk belajar. Betapa malunya seharusnya kita.
Perpisahan
kemarin (12/04). Membuat saya harus merubah pandangan saya. Bahwa Ilmu tak
semata kita peroleh kapan dan darimana, tapi apa manfaat yang di dapat orang
lain dari ilmu kita.
Terimakasih
penduduk Lekok, sesungguhnya bukan kita yang mengajari kalian, tapi kalian yang
mengajari kita. Kita mungkin mengajari tentar mengeja huruf, mengenal alphabet,
tapi kalian mengajari kami indahnya
berbagi, mengerti arti mensyukuri, bersama untuk saling memberi manfaat.
Kami, Ibu-Ibu
mahasiswa, tidak meminta apa-apa dari kalian, hanya lanjutkan semangat belajar
kalian. Di sela apa pun, sesibuk apa pun, belajar dan belajar, di samping
mendekat ke arahNya. Terimakasih sekali lagi tak terhingga, terutama untuk
oleh-oleh yang luar biasa banyaknya, hehe. Terimakasih tawaran naik perahu ke
tengah laut (meskipun nggak jadi). Kami pasti merindukan kalian suatu saat.
terimakasih utk kania dan mipta, atas kerelaan membawa itu semua ke Surabaya |
Blitar, 14
April 2014
Futri Z.
Darojat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar