Dear Futri,
Ini tiket wisata, pergi lah ke tempat yang
belum pernah kau kunjungi, lihat dan belajarlah dari sana,
With Love,
Allah
Meminjam istilahnya Bekti. Ini memang undian wisata gratis
dari Allah. Saya berhasil pergi ke suatu tempat yang benar-benar berbeda,
bertemu dengan orang-orang berbeda, menggunakan bahasa berbeda, dan melakukan
banyak hal berbeda. Baik, seorang Futri biasanya suka protes begini, “Mengapa
nggak luar negeri ya Allah?” atau “Ya Allah, asyikan kesana deh ya
Allah.” tapi Allah diam, nggak menjawab. Kan supaya saya berpikir. Kira-kira
kenapa ya?
Ini kali ke-enam saya menjejak Lekok, sebuah kecamatan kecil di
timur Kota Pasuruan yang kita jangkau dengan menggunakan Taxi. Taxi? Gaya amat.
Ini bukan Taxi Blue Bird, Orenz, Cip Ganti, Silver atau yang sering berkeliaran
memenuhi Kota Surabaya yang sekali buka pintu saja sudah berapa itu. Bukan
sodara-sodara. Taxi? gimana ya menggambarkannya. Taxi yang ini tidak kita temui
lagi di Surabaya. Semacam mobil Carry (tapi terlalu bagus), yang badannya
ringsek kanan kiri, catnya memudar, yang muatannya tanpa batas, berapa aja
masuk, siapa aja termasuk hewan ternak juga masuk *dramatis. Ini yang sempat
diketawain si Kania sampe kepingkal-pingkal. Taxi? *gelenggeleng
Sungguh Allah berniat menyeret dagu saya, dan memaksa saya
melihat, “Tuh Lihat Fut..Tuh tuh, kurang enak apa hidup kamu? Heh!”
Ketika melihat Ibu-Ibu seumuran Ibuk, Mbah Tri, dan Budhe-Budhe saya, bilang
begini “Bu…jangan balik-balik ke Surabaya Bu, nanti bagaimana Ibu-Ibu di
sini kalau Ibu balik Ke Surabaya?” saya, kania, nova dan mifta pasti
langsung diam *speechless, bingung bagaimana menanggapi itu. Kami pikir
mereka tidak ingin belajar, kami pikir mereka tidak butuh membaca, nyatanya
mereka semangat sekali. Sedang kita, apa yang bisa kita beri tidak banyak
membantu mereka.
Warga Lekok adalah sisi lain yang disembunyikan Indonesia.
Negeri Yang katanya menuju negeri maju ini, menyembunyikan belasan ribu
warganya yang tidak mengenal huruf “A” pun. Tapi sungguh, ada perasaan yang
sulit dijelaskan berada di antara mereka. Bau ikan asin mereka, curhatan mereka
“Dikerjakan Bu, sampai jam sebelas.”, usaha mereka berbahasa demi membuat kita
mengerti apa yang mereka katakan atau wajah mereka yang pura-pura bisa dan
semangat sekali. Andai kita tahu kesulitan orang lain, demi sekedar bisa
membaca. Andai yang muda-muda memiliki semangat yang sama. Pasti bangku kuliah
di kelas akan selalu penuh. Pasti perpustakaan lebih diminati daripada
cangkrukan di kantin berjam-jam. Andai.
Lepas dari semua itu, banyak hal yang lucu yang belum pernah
saya lihat sebelumnya. Sore itu, saya dan kania pergi ke pasar untuk membeli
makanan kecil. Ada pemandangan yang asing di mata saya. Dimana semua orang
laki-laki memakai sarung tanpa terkecuali. Terkecuali! mulai anak-anak, remaja,
preman-preman, tukang soto, bapak narik becak, semua bersarung. Mungkin ini
biasa menurut suatu daerah, tapi ini asing di mata saya. Oke, saya mungkin
tinggal di desa ya, tapi mungkin warga desa saya sudah metropolis ya, yang ada
sore-sore remajanya pakai celana pencil yang ketat itu. Sungguh, heran saya,
bagaiamana penduduk Lekok tidak terkontaminasi. Sayang, saya tidak berani ambil
gambar bapak dan mas-mas disana.
Sisi lain yang saya temukan di Lekok adalah pantai, dari
kecil saya punya cita-cita memiliki rumah kaca di tepi pantai. Tapi sayang
sungguh sayang, pantai di Lekok mengurangi citra baik pantai di mata saya. Tapi
seberapa pun, yang namanya pantai, terbuat dari air, tetap indah di mata saya.
Banyak sekali hal indah yang Kau tunjukkan Ya Allah,
terimakasih perjalanan ini.
itu penampakan kita di pantai Lekok |
Pasar Lekok |
penampilan pasar Lekok yang sesuatu bgt bagi kaoskaki kita :D |
Hoaaammm...cemungud Bu Atim ! hehe |
daripada ganggu mamak belajar, sini adek-adek, salam 3 jari sama kakak xoxoxo |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar