Rasanya jahat
sekali dengan tubuh sendiri kalau harus mengerjakan revisian skripsi malam ini
juga. Mengapa kita tidak membahas hal lain, misalnya cinta. Hahaha jangan itu,
topik klasik. Hampir semua dari puluhan blog yang kuikuti pernah membahas itu.
Kau tahu, ada beberapa hal yang belum pernah ku ceritakan padamu, salah satunya
bagaimana caraku membesar selama ini.
Dahulu ketika
seragamku masih biru, dari perpustakaan sekolah lah aku mengenal sastra. Sastra
lah yang kemudian mengubah sebagian besar hidupku. Saat itu kelas tujuh, novel
pertama yang kubaca adalah Tenggelamnya Kapal Vanderwickj, roman kuno
karya Haji Umar Said Karim Amrullah (Buya Hamka) yang pertamana kali tapi
berhasil menyeret imajiku kemana – mana. Bagiku betapa kerennya Zainudin,
menolak Hayati karena ia telah menikah meski dalam lubuk hati masih mencinta.
Banyak
selanjutnya novel – novel lain yang kubaca setelah itu, namun tak eranjak dari
karya – karya lama Balai Pustaka, seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya,dll. Namun
dalam perkembangannya, Ibu selalu memarahi ketika memergokiku membaca novel
diam – diam di kamar. Bagi Ibu, novel itu tidak penting, dan yang penting
adalah buku matematika atau mata pelajaran sekolah yang lain. Tapi dasarnya
aku, novel adalah sesuatu yang patut diperjuangkan, dan itu kujunjung tinggi
hingga aku dewasa. Melalui itu, menjelmalah aku menjadi pemikir, imajiner, dan
peka.
Kelas
sepuluh, kegilaan pada novel semakin menjadi ketika Andrea Hirata mencipta
karya pertama tetralogi Laskar Pelangi, bagiku suatu keajaiban membayangkan
seting di dalam novel – novel itu. Di susul novel – novel lain Sang Pemimpi, Edensor,
Maryamah Karpov, Hingga Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas, hingga Sebelas Patriot.
Membuatku erpikir, bahwa sastra bukan sekedar keindahan bahasa tapi keluasan
ilmu.
Tahun demi
tahun, tak terhitung berapa novel bergelayutan di kepalaku, mulai kisah Lilly
gadis Inggris yang terusir dari Inggris dan perjuangannya sebagai kaum
minoritas di Ethiopia, kisah Jahanara menemani Isa merancang Taj Mahal atau
cinta Syah jehan kepada Mumtaz Mahal, Kisal Indonesia ringan lain yang tak
terhitung seperti 5 cm, perahu kertas, Karya – karya Tere Liye. Sampai dongeng
dataran Inggris tentang Alice In Wonderland.
Bagiku,
sastra adalah cara paling lembut dalam menyentuh. Nasihat paling santun dan
mengena. Mereka yang tidak mengerti sastra pasti berpikir. Sastra itu tidak
lain hanya kata – kata mendayu yang berisi kegombalan – kegombalan cinta.
Bagiku, mereka yang berpikir demikian, justru mereka yang terlalu sulit
menikmati dunia dengan sederhana atau kurang memiliki kepekaan terhadap
keindahan, karena bagiku, sastra adalah tempat dimana kita bahagia dengan cara
- cara sederhana.
(to be
continued)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar