Kamu pasti takut sendiri. Aku juga. Kemarin, waktu kau bilang kau akan
pergi jauh, aku makin takut. Ada semacam perih dalam hati yang membuat
mataku dipaksa berair. Pipiku becek. Sayang, air mataku, sederas dan
sebanyak apapun ia mengalir, tampaknya tak punya daya menahanmu untuk
tetap di sini. Maka detik itu aku pura-pura tersenyum. Detik
selanjutnya aku menyadari bahwa ters...enyum sama sekali tak melegakan.
Bila kau mengerti. Dalam senyum yang kubuat-buat itu sebenarnya hatiku
berdo’a: “Tuhan, tak bisakah Kau lewatkan aku dari cerita tentang
keterpisahan ini?”. Belum sempat kudengar jawaban dari-Nya, lantas
kususul dengan doa-doa senada: ”Tak bisakah waktu Kau putar lebih cepat
sampai ia kembali?”, “Tak bisakah untuk kali ini saja, anugerahi
hambamu ini kemampuan untuk memperbudak waktu?”. Entahlah, semoga saja
dengan semakin beragam doa yang kuucap, Tuhan semakin ramah sebab punya
banyak pilihan untuk dikabulkan.
Menjauh untuk menjaga. Kau
tahu, sejujurnya aku benci konsep itu. Terlalu menyedihkan. Seperti
perumpamaan klasik tentang matahari yang mencintai bumi dengan
jaraknya. Terdengar tegar dan dewasa memang, tapi tetap saja
menyedihkan. Aku mulai mengira, barangkali analogi itu cuma pembenaran
teoritis atas tragedi ketidakmampuan mencintai—dengan alasan apapun.
Atau boleh jadi semacam legitimasi bagi sebuah kerapuhan jiwa.
Apa yang bisa diharapkan, dari sebuah cinta yang bahkan oleh himpitan jarak saja ia jadi tak berdaya?
Apa yang bisa dibanggakan, dari cinta yang dengan segala macam
pembenarannya menyerah pada sebuah keterpisahan, pasrah pada
ketakberdayaan, sementara seluruh penjuru dunia memuja kedigdayaannya
dengan kalimat ‘Amour Vincit Omnia’ ?
Kalau saja matahari,
memang mencintai bumi. Dengan abadinya keberjarakan yang ditakdirkan
pada mereka, mestinya telah redam bara yang ia punya. Terendam oleh air
matanya sendiri. Seperti Qais yang cintanya tak pernah sampai pada
Laila, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menangis. Lalu majnun-lah
ia, sebelum akhirnya mati dalam sebuah keterpurukan. Apakah selalu
begitu, benturan antara rasa dengan realitas yang beda rupa selalu
mencipta luka?
Menjauh untuk menjaga.
Sampai pada
baris tulisanku yang kesekian ini, aku masih belum bisa menerima konsep
itu. Seperti konsep ‘rela menunggu untuk kebahagiaan’. Lagi-lagi,
entahlah. Barangkali karena aku terlalu merindukanmu, hingga bahkan aku
tak rela menunggu, terlebih lagi membuatmu menunggu.
(karya Azhar Nurun Ala)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar