Ini adalah
hari saat matahari hanya berani bersembunyi di balik teman gembulnya cumolo
nimbus. Hari saat tubuhku menyusut lebih kecil dari Quert atau Coll kurcaci
snow white. Saat Chrishalys malu untuk mengakuiku sebagai teman, atau saat aku
benar – benar berharap lumut – lumut akan tumbuh tinggi menjulang menjadikan
tempat ini mejadi hutan hujan tropis. Biar, biar aku tersesat di dalamnya saja.
Daripada menanggung malu tak berkesudahan.
Semua di
mulai ketika aku menjinjing tas vonex pinkku berjalan melalui air mancur pusat
kota, berjalan dengan sepatu pink milik Austin, dengan rok panjang bunga seruni
yang lebih terkesan berbentuk rumput liar, dengan potongan abu- abu favoritku,
juga dengan poly sweet ukuran L yang awalnya akan kuberikan pada Nala. Yah aku
lebih suka begini ketimbang berdesak – desakan dalam bemo G untuk sekedar
mengunjungi perpustakaan kuning. Ufeb ada janji dengan temannya sehingga aku
haru berangkat sendiri. Dan tiba pada lengkung Sembilan puluh derajat bujur
barat, aku menangkap beberapa sosok tak biasa dari arah lapangan hoki. Berbaris
beberapa banjar lalu terdengar teriakan komando. Oh, panglima…pikirku.
Dan sesaat
kemudian aku berani mempertaruhkan harga diriku dengan melupakan rencanaku mengunjungi
perpustakaan kuning dan memilih berdiri mengintip paukan kavaleri berlatih
pedang. Kau boleh mengejek, aku dalam
bayanganmu mungkin seperti lelaki miskin yang kehabisan tiket orkes. Tapi, aku
juga berani bertaruh dengan diriku sendiri bahwa jika hari itu ibarat
pertunjukkan musik. Maka artisnya adalah
Selena Gomes.
Aku mencari
sosok yang sekira aku kenal. Bodoh. Aku memang tidak mengenal siapa – siapa diantara
mereka. Tapi apa yang menarik. Panglima pasukan itu, bernama Khalid. Ia
memukau. Aku pernah sesekali mengintip seperti ini dan menemukannya berlatih
gerakan merpati menyerang ayang, atau tupai menang arisan *plaakk itu hanya
karanganku. Tapi mana sosok itu, tidak mungkin mereka berlatih tanpa
panglimanya. Aku berusaha memicingkan mataku berharap tiba – tiba teropong
jarak jauh jatuh dari langit, atau aku menjadi kasat mata sehingga taka pa jika
aku mendekat, tak aka nada orang yang mengusir atau berpandangan aneh
terhadapku. Ahh mana mana? apakah mataku bertambah minusnya hingga tak
mengenali sosok panglima.
“Apa yang kau
lakukan?” Suara dari arah belakang membuat tubuhku terhuyung kea rah depan.
Saat itu posisiku mungkin seperti burung gereja yang salah satu kakinya terkena
permen karet. Aku menolehkan kepalaku. Aku tiba – tiba sesak nafas, kakiku
kaku, tubuhku bergetar, atau gejala cemas lainnya yang tak ku rasakan. “Maaf
Tuan saya hanya ingin melihat anda sekalian berlatih pedang. Saya ingin pandai
berpedang seperti Tuan.” Kataku terlalu cepat, entah sosok di hadapanku itu
paham atau tidak yang jelas itulah yang keluar. Aku berani bertaruh, dia pasti
berpikir aku gadis zaman sekarang yang sedang depresi karena tidak punya dana
untuk operasi plastik. “Uhh maksudku..” Kemudian tanpa menunggu kalimatku
berlanjut sosok itu berjalan meninggalkanku. Jika sosok itu adalah guru
matematika atau penjual pempek atau paling tidak prajurit lain yang biasa saja
mungkin aku tak merutuki diriku separah itu. Sosok itu adalah panglima Khalid.
Panglima yang membawa negeri kami tidak pernah kalah melawan negeri manapun.
Panglima yang membuatku bersemangat melihat berita di tivi. Panglima yang
sosoknya jarang muncul tapi sangat diharapka. Aku hampir menangis karena
menyesal. Aku harusnya bisa menata bahasa dengan apik hingga mampu meluluhkan
hatinya dan membiarkanku berlatih pedang. Mungkin ia merasa aneh dengan rok
panjangku, atau aku lebih akan terlihat seperti ballerina ketika memegang
gagang pedang. Apa aku bahkan tdak kuat memegang salah satu pun diatara pedang
mereka. Aku ingin hebat seperti panglima. Aku ingin menjaga tanah air kita
Panglima. Aku ingin menjadi lebih berani menghadang maut dan tidak takut mati.
Aku ingin tetap berperang namun tetap mengingat Tuhan. Ajari aku panglima. Aku
terlalu bodoh untuk belajar hanya dari melihat. Ajari sehebatmu. Aku menangis,
terus menangis hingga pasukan itu menghilang. Aku tidak ingin pergi. Karena aku
tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk memenuhi keinginanku. Panglima, suatu
saat aku akan berdiri lagi di sini untuk melihat kalian berlatih. Tak peduli
apakah aku terlihat seperti sniper yang akan disoraki “Snyper jangan mencuri, sniper
jangan mencuri.” Aku tak peduli. Aku ingin hebat sepertimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar