“Mana
pedangku,?” Katamu membuka percakapan di depan bangkuku
“Aku
sudah bilang, ku buang.”
“Ambil
lagi dan bawa itu besok. Kau tak bisa menjaga sesuatu yang berharga.” Makimu
kasar.
“Pedang
itu tak berharga buatku. dia hanya pedang mainan dari batang pisang yang
mungkin sekarang sudah rusak.” Bela ku.
“Tapi
itu bukan punyamu.”
“Aku
tidak pernah menyuruhmu menitipkannya padaku.”Bantahku.
“Egois.
Karena sore itu kau bertanya bagaimana jika aku yang melukaimu, maka kuberikan
pedang itu padamu. Ternyata menjaga dirimu sendiri pun kau tak bisa.”Kau
beranjak dan kembali kearah bangkumu.
Ini
pertama, aku melihat kau benar – benar marah. Hanya karena pedang mainan. Aku
diam, aku sudah tidak berani menjawab ketika kau marah. Ini sulit dimengerti.
Kita selalu beda persepsi.
“Aku
tidak pernah butuh buku – buku ini.” Kau datang dan membanting buku – buka
ceritaku di atas meja. Prakk!!! aku bergidik kaget. Dan aneh, kau terkejut
melihatku terkaget. Aku diam, kuyakinkan diriku, aku tidak salah.
****
Kamu
tidak datang, hari itu pengambilan raport. Ayahmu juga tak datang. Aku tidak
mau mencarimu. Kau masih tergambar menyeballkan di pikiranku karena peristiwa
kemarin. Tapi aku cemas. Kau belum datang atau tidak pernah datang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar