“Kau
suka novel itu.” Tanyamu lembut. Berbeda dengan kau 7 tahun lalu.
Ku
perhatikan novel sampul ungu itu “Bayang – bayang Andalusia. Sejak kapan kau
punya selera yang bagus tentang buku.” Ku bolak – balik buku seukuran al-Qur’an
itu. “Aku tidak mau, aku akan beli ini sendiri.”
“Bodoh.
Kau tak akan menemukannya di dunia ini. Belajarlah bermain peran orang dewasa,
jangan seperti anak – anak. Aku tidak akan menceritakan pada teman – teman
kalau buku itu dariku.
Aku
tersenyum.
“Kau
tidak pernah pamit.” Kataku kemudian
“Kau
pasti menangis jika aku pamit.” Sergahmu segera.
“Aku
bukan anak cengeng.”
Kamu
mencibir.
“Apakah
kamu mencariku.” Tanyamu kemudian.
“Tidak.”
“Apakah
kamu merindukanku.”
“Tidak.”
“Tidak
pernah.?” Kau mulai jengkel dengan jawabanku.
Aku
menggeleng.
“Apakah
kau pernah berbohong?” Desakmu.
Aku
mengangguk.
“Apakah
kau baru saja berbohong padaku.” Kau tak melepaskan tatapanmu dariku.
Sesak.
“Khalid
Bin Walid, Tariq Bin Ziyad, dan Al-Fatih. Apa kabar mereka?” Tanyamu kemudian
tertawa.
Aku
hanya tersenyum. Kamu masih mengingat tentang aku.
“Tidak
ada yang berubah.” jawabku kemudian
“Kau
masih ingin aku seperti mereka.”
“Aku
tidak pernah mengatakan itu.”
“Tapi
aku tahu apa yang tidak kau katakan.”
Aku
melirikmu tajam, bagaimana bisa?
“Lirikan
kanak – kanak. Tidak pernah berubah.” lagi lagi kau tertawa.
“Sejak
kapan kau hobi tertawa?”
“Sejak
seorang anak laki – laki benar – benar ingin menjadi panglima perang demi gadis
yang dicintainya.”
DEG.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
harap bisa menjadi Wentai dan kau menjadi Mulan. Bukan aku yang hanya jadi
panglima perang, tapi juga kau.”
“Tapi
pada akhirnya mereka tidak bersama.” Jawabku.
“Jadi
kau ingin yang pada akhirnya bersama.”
GLEKK…
“Aku
tidak bilang begitu.”
“Apa
perlu kuulangi, aku tahu apa yang tidak kau katakan. Aku melihatnya dari
matamu. Jadi jangan menatap aku ketika berbicara.”
Tanpa
tersadar aku menunduk dan kau tertawa. Aku kalah.
Aku
berjalan menjauhimu.
“kenapa?
marah?” kamu menyusul, berjalan di belakangku.
“enak
saja.”
……
“kamu
belajar apa sekarang?” Katamu setelah beberapa detik terdiam, mungkin mencari
topic pembicaraan.
“Psikologi.”
“hump.”
kau tutupkan dua telapak tangan pada mulutmu.
“kenapa?”
“Takut
dibaca. hehe.” kemudian kamu berkelekar.
“haha.
semua orang berkata begitu.”
“Tapi
memang benar kan?”
“Tidak
semudah itu membaca manusia. Membaca manusia menggunakan dua mata tidak cukup.
dari empat arah mata angin juga tidak cukup.”
hahahah,
belum selesai aku bicara. Kamu tertawa keras. “Tapi aku bisa membacamu dengan
dua mataku.”
“Kamu
bukan membaca, tapi menebak dan menyimpulkan.” sergahku, Kamu diam kemudian,
“Kamu
belajar apa?” tanyaku.
“Architechture.”
Senyum angkuh kekanakan.
“ilmu
seni.”
“Bukan,
arsitek bukan hanya dapat menggambar bangunan, tapi bangunan itu harus
direalisasikan. Arsitek sejati menggabungkan estetika ke dalam matematika.
Semua aspek ada di dalamnya, termasuk psikologis”
“Ohya.
selamat bekerja dan semakin menyesakkan bumi ini dengan bangunanmu tuan
arsitek.” Kataku sedikit kumunculkan muka mengejek.
“Tidak
khawatir, karena dunia ini mempunyai psikolog yang membuat bumi terasa lapang.”
kemudian
kita tertawa, entah karena apa. Mungkin cara kita bercakap – cakap yang tak
berubah, kekanakan. Satu hal. Sekian lama, kita ternyata masih bisa tertawa
dalam satu irama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar