Selasa, 18 Desember 2012

Aku, kamu, kavaleri #3



“Kau suka novel itu.” Tanyamu lembut. Berbeda dengan kau 7 tahun lalu.
Ku perhatikan novel sampul ungu itu “Bayang – bayang Andalusia. Sejak kapan kau punya selera yang bagus tentang buku.” Ku bolak – balik buku seukuran al-Qur’an itu. “Aku tidak mau, aku akan beli ini sendiri.”
“Bodoh. Kau tak akan menemukannya di dunia ini. Belajarlah bermain peran orang dewasa, jangan seperti anak – anak. Aku tidak akan menceritakan pada teman – teman kalau buku itu dariku.
Aku tersenyum.
“Kau tidak pernah pamit.” Kataku kemudian
“Kau pasti menangis jika aku pamit.” Sergahmu segera.
“Aku bukan anak cengeng.”
Kamu mencibir.
“Apakah kamu mencariku.” Tanyamu kemudian.
“Tidak.”
“Apakah kamu merindukanku.”
“Tidak.”
“Tidak pernah.?” Kau mulai jengkel dengan jawabanku.
Aku menggeleng.
“Apakah kau pernah berbohong?” Desakmu.
Aku mengangguk.
“Apakah kau baru saja berbohong padaku.” Kau tak melepaskan tatapanmu dariku.
Sesak.
“Khalid Bin Walid, Tariq Bin Ziyad, dan Al-Fatih. Apa kabar mereka?” Tanyamu kemudian tertawa.
Aku hanya tersenyum. Kamu masih mengingat tentang aku.
“Tidak ada yang berubah.” jawabku kemudian
“Kau masih ingin aku seperti mereka.”
“Aku tidak pernah mengatakan itu.”
“Tapi aku tahu apa yang tidak kau katakan.”
Aku melirikmu tajam, bagaimana bisa?
“Lirikan kanak – kanak. Tidak pernah berubah.” lagi lagi kau tertawa.
“Sejak kapan kau hobi tertawa?”
“Sejak seorang anak laki – laki benar – benar ingin menjadi panglima perang demi gadis yang dicintainya.”
DEG.
“Apa maksudmu?”
“Aku harap bisa menjadi Wentai dan kau menjadi Mulan. Bukan aku yang hanya jadi panglima perang, tapi juga kau.”
“Tapi pada akhirnya mereka tidak bersama.” Jawabku.
“Jadi kau ingin yang pada akhirnya bersama.”
GLEKK…
“Aku tidak bilang begitu.”
“Apa perlu kuulangi, aku tahu apa yang tidak kau katakan. Aku melihatnya dari matamu. Jadi jangan menatap aku ketika berbicara.”
Tanpa tersadar aku menunduk dan kau tertawa. Aku kalah.
Aku berjalan menjauhimu.
“kenapa? marah?” kamu menyusul, berjalan di belakangku.
“enak saja.”
……
“kamu belajar apa sekarang?” Katamu setelah beberapa detik terdiam, mungkin mencari topic pembicaraan.
“Psikologi.”
“hump.” kau tutupkan dua telapak tangan pada mulutmu.
“kenapa?”
“Takut dibaca. hehe.” kemudian kamu berkelekar.
“haha. semua orang berkata begitu.”
“Tapi memang benar kan?”
“Tidak semudah itu membaca manusia. Membaca manusia menggunakan dua mata tidak cukup. dari empat arah mata angin juga tidak cukup.”
hahahah, belum selesai aku bicara. Kamu tertawa keras. “Tapi aku bisa membacamu dengan dua mataku.”
“Kamu bukan membaca, tapi menebak dan menyimpulkan.” sergahku, Kamu diam kemudian,
“Kamu belajar apa?” tanyaku.
“Architechture.” Senyum angkuh kekanakan.
“ilmu seni.”
“Bukan, arsitek bukan hanya dapat menggambar bangunan, tapi bangunan itu harus direalisasikan. Arsitek sejati menggabungkan estetika ke dalam matematika. Semua aspek ada di dalamnya, termasuk psikologis”
“Ohya. selamat bekerja dan semakin menyesakkan bumi ini dengan bangunanmu tuan arsitek.” Kataku sedikit kumunculkan muka mengejek.
“Tidak khawatir, karena dunia ini mempunyai psikolog yang membuat bumi terasa lapang.”
kemudian kita tertawa, entah karena apa. Mungkin cara kita bercakap – cakap yang tak berubah, kekanakan. Satu hal. Sekian lama, kita ternyata masih bisa tertawa dalam satu irama.

Tidak ada komentar: