“Matamu
coklat, kamu pakai contact lens?”
“Iya,
contact lens dari Allah.”
Kata
beberapa teman aku berubah, berubah seperti warna bola mata. Kian
dewasa kian menjernih. Aku sebenarnya malu mengatakan aku sudah
dewasa, karena entah pada kenyataannya aku tidak tahu. Aku selalu
mengira, aku tidak pernah berubah, dari gadis kecil penyuka kembang
api, aku pikir hanya beberapa yang lalu saja aku lupa tak merengek
minta dibelikan kembang api pada abi. Abi juga masih sering
menawariku untuk di antar atau di jemput ke Surabaya. Tapi…kenyataan
terlalu sulit untuk kumanipulasi. Aku memang berubah.
“Kapan
kita akan menikah ya?” Kami, aku dan teman – temanku selalu takut
berkata demikian. Takut jikalau malaikat tiba - tiba menjawab,
“Besuk.” atau “Lusa.”. Takut jikalau harus berbagi mainan
bersama orang asing. Takut jika aku tak lagi punya waktu membicarakan
mimpi bersama teman – teman. Takut jika, takut jika, takut jika.
Ahh dewasa bukan penakut. Perasaan itu sepertinya hanya ku buat –
buat, agar aku terlihat seperti anak – anak yang akan banyak
mendapat perhatian eyang putri. Yang masih bebas menjawab “Jadi
dokter, jadi arsitek, jadi presiden.” ketika seseorang menanyakan
cita –cita. Mau tidak mau aku harus berkata. Aku menjadi dewasa,
aku berani, aku siap, apa pun..
“Matamu
coklat, kamu pakai contact lens ya?” haha seorang teman bertanya
sembari tak melepas pandangannya dari mataku, katanya mataku tak
seperti milik orang umum. Jika orang Indonesia umumnya coklat hitam,
hitam coklat, punyaku adalah coklat murni, begitu katanya. Aku pikir,
ini bagian dari pendewasaanku. Dalam psikologi aku tak pernah
menemukan hubungan keduanya, tapi biarlah aku menarik kesimpulan
sendiri. Mata coklat ini muncul sejak aku memutuskan untuk berusaha
(masih berusaha) berjilbab secara kaffah (seutuhnya). Bukan berari
dulunya aku tak berjilbab, hanya saja, jilbab bagiku dulu adalah
accessories. Tidak bila tak membuatku cantik. Malu jika tak mengikuti
perkembangan, takut terlihat jelek. Padahal kakung bilang aku cantik
sekali. Ada sekalinya kalau kakung yang bilang.
Aku
tidak berubah, ah terlalu naïf jika mengatakan itu. Bagaimana pun
orang melihat. Aku pikir aku berubah membaik. Salah satu hal yang
harus ku lalukan adalah berterima kasih, pada sang Great Director,
pada Allah sang perencana. Hanya saja, aku takut, aku menjadi baik
karena lingkunganku. Bagaimana jika dulu – dulu Allah tak
menempatkanku di sini, atau jika nanti suatu saat akan tiba di saat
aku harus berada di suatu tempat yang sama sekali tidak save bagiku.
Ahh..nothing can I do except praying for my istiqomah. Karena, apa
yang lebih indah dari suatu keistiqomahan melakukan kebaikan.
Bagaimana pun menurutku, aku masih belum yakin orang lain melihatku
sama seperti caraku melihat diriku. Aku masih sering buruk, aku masih
butuh banyak belajar, aku masih polos dan kurang strategi bergaul,
aku masih hanya berani di tempat – tempat aman, aku harus berani
berubah. terus berubah. terus berubah. terus berubah. JIka lingkungan
tak berubah, biarlah aku berubah sendirian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar