Dulu
aku suka sekali berspekulasi, menerka-nerka, memperkirakan apa maksud Tuhan
mengenalkanku padamu? Dia tentu memiliki maksud. Kini, aku sedikit menemukan
titik terang pertanyaan itu. Kamu hadir untuk menyeimbangkan emosionalku dengan
ketenanganmu.
Seperti
sore ini, saat aku benar- benar merasa jengah membahas dunia, lelah mengejar
-kejar target, saat aku merasa benar-benar hilang harapan. Aku ingin sekali
menemuimu. Ya, kau adalah orang yang paling ingin kutemui saat aku jatuh. Entah
mengapa, maaf. Aku hanya ingin duduk bersamamu di tepian pantai, mendengar
kecipak ombak pantai sore yang sedang surut, dan menyaksikan opera matahari
tenggelam.
Aku
hanya ingin tubuhku menjadi ringan, dan segala kemelut masalah menguap pergi
bersama matahari. Aku hanya ingin membicarakan hal-hal yang membuat kita
tertawa damai, lalu menghindari apa-apa yang menimbulkan khawatir. Dan kau
selalu saja berhasil dalam menciptakan suasana semacam itu.
“Ada
yang bisa kulakukan agar membuatmu tersenyum?” Katamu, detik itu juga, sebenarnya
aku sudah ingin tersenyum tersebab perkataanmu, tapi sesuatu yang berat
membebani kepalaku hingga terasa sulit bahkan untuk mencuatkan sedikit senyum.
“Gunakan
kekuatanmu, atau jurus apa saja untuk menghentikan waktu. Aku ingin menikmati
waktu seperti sekarang lebih lama. Peristiwa senja yang lebih lama, kecipak
ombak yang tenangnya lebih lama. Aku malas untuk kembali pada dunia nyata
dengan himpitan tugas-tugas dan target yang mencekik.” Jawabku. Kau tidak
menoleh, tapi aku tahu, kau mendengarkanku.
“Siapa
yang membuat target itu?” Tanyamu.
“Aku.”
“Berharap
itu wajar, bermimpi itu perlu, berdoa itu harus, yang terpenting dari semua itu
adalah penerimaanmu atas segala keputusan Tuhan.” Katamu tenang. Aku menoleh ke arahmu
yang masih saja tenang. Aku penasaran, bagaimana caranya kau bisa semenenangkan
itu?
“Kalau
mimpi lantas membuat kau merasa hebat, kau meremehkan Tuhan. Kalau kau berdoa
lalu kau merasa bangga doamu terkabul, itu bisa menimbulkan sombong, kau merasa
yang paling khusyu’ padahal siapa tahu doa yang terwujud itu bukan doamu, tapi
doa ibumu, bapakmu, gurumu, atau teman-temanmu. Jangan membiarkan mimpi
menggeser tempat Allah di hatimu.” Lanjutmu.
Kau
benar. Kau selalu ada benarnya. Sekarang aku tahu, mengapa adalah kau yang
paling ingin kutemui ketika aku dalam masalah.
“Terimakasih
sudah menemaniku. Terimakasih sudah menasehatiku.” Kataku beranjak berdiri.
“Tidak
ada yang salah dengan mimpimu, teruslah berdoa dan jangan lupa berusaha. Ingat,
berdoa dulu, lalu sempurnakan dengan usaha. Hanya satu kekuranganmu.” Kamu
ikut berdiri. Aku menoleh, apa? “Bersabar dan tawaqal. Tawaqal itu tidak
banyak protes kepada Allah. Nurut.” Aku tersenyum, lagi-lagi kau benar.
“Mengapa
lagi-lagi kau benar. Terimakasih sekali lagi, untuk pernah ada.”
Aku
mulai melangkah, meninggalkanmu yang sepertinya tak ingin beranjak. “Ada
satu hal yang ingin ku bilang padamu, Pasir.” Teriakmu, aku berbalik.
“Apa,
Gelombang?” Tanyaku.
“Senang
melihatmu bertumbuh.”
#fiksi
Blitar,
24 Agustus 2014
2 komentar:
“Berharap itu wajar, bermimpi itu perlu, berdoa itu harus, yang terpenting dari semua itu adalah penerimaanmu atas segala keputusan Tuhan.”
Suka sekali dengan kalimat ini :) semangat terus menulis ^^
jalan-jalan ke blogku juga dong. mohon komennya yaah ^^
http://diirumahkata.blogspot.com/2014/08/boleh-lahir-dari-telur-yang-sama-tapi.html
terimakasih, salam kenal :')
tunggu, aku akan segera berkunjung :)
Posting Komentar