Senin, 10 Maret 2014

Bahagia dan Cita-cita


Gegara tugas akhir alias skripsweet, saya jadi punya kebiasaan baru. Apa itu?? tam taram taraam.. Membaca jurnal ilmiah! Keren kan? hehe. Bukan apa-apa sih, karena nyari materi nggak nemu-nemu di buku ujung-ujungnya apalagi kalau bukan jurnal. Sebelum-sebelumnya hanya ada dua jenis jurnal yang saya baca, kalau nggak tentang autism spectrum disorder (materi skripsweet saya), ya saya tertarik sebuah karya ilmiah karena siapa yang nerbitin, kota impian saya, Sydney, New South Wales. Tapi yang aneh, hari ini saya nyasar ke sebuah jurnal dari Findland, dari University of Helsinki. Karena saya tertarik dengan judulnya, yang kalau dibahasa Indonesiain jadi Orientasi (cita-cita) dan Subjective Well-being.
Jadi Katariina (Peneliti), ingin mengetahui bagaimana cita-cita memperngaruhi subjective well-being seorang dewasa awal (seumuran gue), dalam hal ini murid-murid high school yang berjumlah 1147. SWB (Subjective Well-being, kata anak-anak psikologi enaknya disingkat begitu) secara bahasa kita adalah cara seseorang mengevaluasi tentang kualitas hidup mereka, seberapa berbahagia seseorang dalam menjadi hidup mereka. Jadi untuk mengukur hal tersebut Katarina menggunakan beberapa skala, seperti motivasi, gejala-gejala depresi dan kepuasan hidup.
Dalam perjalanan penelitian ditemukan empat ketegori cita-cita, Kekayaan, Pekerjaan, Pengembangan diri dan  Hubungan sosial . Hasilnya menarik. the group was titled a property orientation. This group included 458 (40%) of the adolescents, of whom 62% were boys. the group was titled a vocation orientation. This group included 278 (24%) of the adolescents, of whom 60% were boys. the group was titled a self-focused orientation. This group included 145 (13%) of the adolescents, of whom 71% were girls. the group was titled a social relationships and future education orientation. This group included 261 (23%) of the adolescents, of whom 68% were girls.”

Ber-dasar-kan hasil penelitian di atas, terlihat kan siapa yang sebenarnya materialis, kok perempuan gitu lo yang selalu dikambing hitamkan. harus segera diluruskan ini. xoxoxoxo.
Singkatnya setelah melalui prosesi statistik yang saya nggak mau bahas (*bikin pusing). Ditemukan bahwa mereka yang dalam kategori  tujuan hidup ‘mengembangkan diri’, ‘pendidikan’ dan ‘hubungan sosial’ memiliki SWB lebih tinggi daripada yang lain. Mudahnya, memiliki kualitas kebahagiaan dengan cara lebih baik di banding yang memiliki tujuan hidup ‘pekerjaan’ dan ‘kekayaan’.

Bukan apa-apa saya menulis ini, selain sekali-kali menyediakan ruang untuk pengetahuan umum kelimuan favorit saya ini, juga mengingatkan bersama-sama bahwa materi bukan tolok ukur kebahagiaan.  Materi memang untuk hidup, tapi hidup bukan sekedar mencari materi. Karena mengejar materi itu tak pernah ada sudah.

Sumber : Aro, Katariina.2012.Personal Goal Orientation and Subjective Well-beling of Adolescents. Japanesse Psychologycal Research.


Dalam lautan revisi,
Futri Zakiyah Darojat

3 komentar:

mhilal mengatakan...

Jadi kuncinya, biar kita jadi lebih bahagia kita kudu proyeksikan masa depan kita untuk mengembangkan diri, melanjutkan pendidikan dan membangun hubungan sosial, gitu ya?

Baiklah!

Destia Prawidya mengatakan...

nah, kaitannya sama kita mahasiswa yang lagi ngerjain skripsi, ukuran SWB kita seperti apa? :3
soalnya kan sering labil gitu kan, hehe..

Futri Zakiyah Darojat mengatakan...

@Mhilal : berdasarkan jurnal itu, seseorang yang hanya berorientasi materi tidak lebih bahagia ^^


@Destiany : SWB cenderung jangka lama, kalau yg lagi pada ngerkain skripsi smoga saja labilnya temporer :D