Ini
sebenarnya pengakuan yang konyol, tapi aku tak bisa mencegah tanganku
untuk tak menulisnya.
Biasanya
kalau sudah terpojok seperti ini, alih – alih yang biasa kulakukan
adalah bernegosiasi dengan hati. Namun, hatiku begitu bebal, bahkan
saat ini hatiku berada dalam posisi terbebal sepanjang sejarah
kepemilikanku. Sehingga yang tersisa hanya satu pilihan,
membiarkannya bermain – main dengan perasaan.
Aku
sudah curiga di awal – awal, urusan hati selalu lebih rumit, lebih
rumit dari mengatasi nenek – nenek pikun dan pengeyel, pun lebih
rumit dari sin cos tangent matematika yang sering kuhindari.
Sebelumnya, semenjak aku berhasil memplaster retak – retak di tepi
hatiku, aku mengikatnya benar – benar. Dan hasilnya, aku tidak
jatuh cinta pada siapa pun. Namun, kemudian sulit sekali rasanya
mengerti rencana Tuhan, Dia mempertemukanku denganmu. Baik, mungkin
ini klise dan terdengar bodoh, tapi hey mana ada orang dirindung
cinta terlihat pintar. Upss ! Dirundung cinta?? ini tidak
sebegitunya, ini hanya cerita yang ku karang dan kubesar –
besarkan. Aku bukan dirundung cinta seperti itu, ini hanya salah satu
dari sekian cara Tuhan mengujiku. Untuk mengasah mata dalam
ketajaman, untuk member keterampilan hati dalam kepekaan.
Haii?
apa kabar kau? aku tahu, ujian ini pati sama – sama diberikanNya
untukmu. Dan ku akui atau tidak, ujianmu sepertinya lebih berat. Hari
ini, aku ingin sekali bilang padamu, ayolah kita saling menjaga.
Untuk tidak melebih – lebihkan prasangka, untuk tidak terjebak
dalam persepsi. Ayolah kita percaya saja pada rencana Allah, cepat
atau lambat kita pasti bersati :).
Aku hanya
hanyut pada lamunan ketika kau berkata “Aku pulang dulu ya.” Itu kah kalimat
permohonan izin, atau berpamit? bagaimana jika aku berkata “Jangan, tunggu
aku.” Ahh konyol. Sore itu kami –lagi – lagi di dalam perpustakaan fisher—hanya
memandangi deretan pohon ek dari balik jendela kaca. Tanpa membaca, tanpa
menulis, atau Salman tanpa menggambar sesuatu. Salman bilangnya, “aku hanya
ingin berbicara.” Dan lebih konyol, kenapa aku jadi mellow dramatis seperti
menonton serial korea.
“Kau datang
lebih dulu, maka kau pantas pulang lebih cepat.” Aku tidak menyangka, kalimat sebijak
itu yang keluar dari mulutku. Kemudian Salman tersenyum, tidak kaku seperti
biasa.
“Ini bukan
tentang cepat atau tidak cepat. Ini tentang, siapa membutuhkan siapa. Aku hanya
mau jujur tetang sesuatu.” Katanya dengan mantap. Mantap sekali. “Kau hebat.”
“Hah?” Aku
hampir tak mempercayai pendengaranku. Pasalnya ini sepanjang sejarah pertemanan
aneh kami, ia mau memujiku.
“Kau hebat
bisa sejauh ini.” Lanjutnya kemudian.
“Bukan kah
kau jauh lebih hebat.” Jawabku. Tidak ada balasan darinya. Kami kembali
menikmati keterdiaman. “Incongruity, kau
pasti hafal di luar kepala tentang itu.” Lanjutku kemudian memancingnya
berbicara yang lain.
“Kau baca dari
mana istilah itu.” Pendeknya.
“Jangan
salah, dalam psikologi juga ada itu. ketidaksenadaan. seberapa jauh
ketidakcocokan itu menimbulkan estetika, begitu kan?” Kataku bangga.
“Sejak kapan
kau cerdas.” jawabnya sedikit tertawa. “Begitu lah, match tidak selalu senada,
dan yang senada tak selalu seirama. hanya seberapa jauh kau mendetailkan
ketidak senadaan itu dengan pemfokusan yang lain. huff…” ia tutup kalimat itu
dengan desahan panjang, seperti bosan. “Namun bukan berarti yang senada itu tak
memiliki estetika, jauh lebih seharusnya. hanya memperhatikan detail. Bahkan
lebih mudah pendetailannya.”
Aku heran,
kenapa Salman tak menanyakan mengapa aku membahas incongruity. Ia justru
menerangkan prinsip – prinsip ilmu arsitektur kebanggaannya. Aku hanya diam
mendengarkan, sesekali ber-oh panjang lalu mangut – mangut.
“Tapi,
congruity apa yang kau maksud?” Huff…akhirnya pertanyaan itu keluar.
“Sama.”
Sebenarnya bukan itu jawaban yang kusiapkan. Aku hanya bingung menata kalimat. “Hanya
saja, hidup seringkali tak senada dengan rencana, tak sesuai sketsa, begitu mungkin
itu bahasamu.”
“Justru out
of line itu yang membuat sesuatu menjadi hidup. Jangan khawatir. Congruity atau
tidak, kau akan mendapatkan yang seirama.” Entah kenapa ia tertawa, aku
bingung.
“Apa
maksudmu?” Aku mulai curiga dengan penebakan pikirannya. –dengan maksud aku
takut tertebak maksudku sebenarnya.
“Kita
berbeda, tapi kenapa kita bisa berteman. Begitu kan maksudmu.” Jleb, aku
terpojok telak. “Aku pendiam, kau banyak berbicara, aku suka menggambar, kau
suka menulis, aku bekerja dalam matematika yang terpercaya, kau teori maya yang
kau bela mati – matian, hahaha.” Aku masih diam, tak menanggapi –tepatnya bingung
untuk menanggapi—“Ajari aku membuat puisi.” Katanya selanjutnya menyadariku
keterpojokanku. Ia memang seharusnya tahu muka Maluku yang terlanjur tampak
nyata.
“Kau
mengekspresikan dengan gambar, kenapa harus repot- repot belajar membuat puisi.”
Entah kenapa, untuk menutupi malu, suaraku justru terlihat ketus.
Salman
tertawa, kali ini tertawa paling kencang sepanjang hidupnya, aku bertaruh untuk
itu. “Kita masih bisa bertemu dan bersahabat, jangan khawatir.” Tawanya
memelan.
Kau mengenal
teman yang tak kau kehendaki, selalu muncul dengan sangat menyebalkan, yang
selalu membuat iri, yang pintar sekali memojokkan, yang mencintai matematika,
menjunjung tinggi estetika, dan membela mati – matian nilai sejarah. Itulah
Salman. Kau bisa menanyakan bagaimana hitungan hingga atap – atap Gedung Opera
itu tidak runtuh, hingga bagaimana cerritanya Korea Utara dan Selatan berpisah,
ia hafal di luar kepala. Yah, begitu lah Salman membentuk tidak rata di hatiku.
Kemudian dengan seenaknya ia berpamitan pulang. Inilah bagian aneh itu, ketika kau takut kehilangan orang asing.
“Jangan
berhenti menulis. Tulisanmu masih sangat jelek. Kau butuh lima atau tujuh tahun
lagi untuk mendapat pujian dunia, itu pun jika kau berlatih 2 jam sehari.
Segera pulang juga, ayo membangun Indonesia sama – sama.”
Kalimat itu
lah mengakhiri semuanya, Kisah tentang kota kami, Paddington, Perpustakaan
Fisher, dan semua tentang pertemanan janggal kami. Ini dia bagian dari menulis
yang aku takutkan, pada akhirnya, segala kisah akan kehabisan kata, tidak ada
yang dibahas, lalu berhenti sampai di sini. Lalu kita akan dengan susah payah
membangun kisah yang lain, yang kita selalu tuntut akan serupa bahkan lebih.
*di penghujung semester 6, aku benci mengapa waktu begitu cepat berlalu. Kau membaik, sedang aku masih seperti - seperti ini saja :(.
@ruang tengah asrama Khansa, dengan setumpuk tugas proyeksi dan inventori, dan besuk uas psikologi tata kota, dan ini pukul 01.50.