“Lalu apa yang dilakukan Tariq selanjutnya?” tanyaku terdorong rasa
penasaran. Otakku pun masih menyimpan berpuluh – puluh pertanyaan lain. Entah,
Salman selalu bisa menumbuhkan ribuan tanda tanya di keningku untuk dipecahkan.
Terkadang tampang menyebalkannya akan menjawab, “Cari sendiri.” atau, “Baca
buku bla bla“ atau “Besuk saja, ini sudah malam.”. Tapi kali ini ia terdiam
melihat ke arah luar gedung Fisher yang gelap. Sekian detik ia tak bergeming.
“Ia membakar perahu itu. ia membakar
semua perahu mereka di tanah musuh. Sehingga mereka hanya memiliki dua pilihan.
Menang atau mati. itulah pilihan.” Aku seperti merasakan hujan di dalam hatinya
yang mulai bergemericik. Ia seperti menyimpan kisah yang serupa tentang
dirinya. “Kau tahu apa yang ia katakana kepada prajuritnya?” Lanjutnya.
Aku
menggeleng.
“Saudaraku,
lautan di belakang dan musuh di depan kalian. Kemanakah kalian akan lari? sesungguhnya
yang dapat melindungi kalian adalah pedang – pedang yang sekarang kalian
genggam dan keteguhan kalian terhadap Tuhan kalian. Kalian di sini lebih
terlantar dari anak yatim di perkampungan paling hina. Musuh di depan menyambut
kalian dengan kejam, sehingga apabila kalian tetap sengsara tanpa ada
perubahan, nama baik kalian akan hilang dan rasa gentar pada musuh berganti
menjadi rasa berani pada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian!!”
Kamudian kami
sama – sama terdiam, bulu kudukku berdiri mendengar suara parau Salman. Seperti
ada yang benar – benar terbakar dalam hatinya.
“Ya, aku
tahu..kemudian pasukan Tariq berhasil mengalahkan pasukan raja Roderick. dan
berhasil membebaskan Andalusia.” Lagi – lagi Salman lama tak merespon
perkataanku.
“Sejatinya
bukan itu yang terpenting.” Jawabnya lirih sekali. “Bukan kemenangan yang akan
membekas di mata sejarah, tapi proses, usaha, dan perjuangan di dalamnya.”
Kini ganti
aku yang terdiam, benar sekali apa yang diucap Salman. Kenapa aku selalu
terlalu sempit mengartikan sesuatu.
Salman
mengemasi peralatan gambarnya lalu berkata, “Kau tahu, yang sering tercatat
dalam sejarah adalah yang menyakitkan, bukan yang senang – senang dan penuh
kelancaran. Aku pergi dulu, Assalamu’alaikum.” Ia berbalik meninggalkan meja
kami.
“Waalaikumsalam,
Salman sebentar!” Seruku cepat – cepat.
“Apa???” Ia
berbalik
“Kamu Arsitek
apa Ahli Sejarah?” Kataku kemudian. Ia hanya tersenyum lalu berbalik meneruskan
langkahnya. Ahh Salman. Banyak sekali yang aku belajar dari patung es itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar