Selasa, 05 Maret 2013

Paddington : Tentang Tariq


“Lalu apa yang dilakukan Tariq selanjutnya?” tanyaku terdorong rasa penasaran. Otakku pun masih menyimpan berpuluh – puluh pertanyaan lain. Entah, Salman selalu bisa menumbuhkan ribuan tanda tanya di keningku untuk dipecahkan. Terkadang tampang menyebalkannya akan menjawab, “Cari sendiri.” atau, “Baca buku bla bla“ atau “Besuk saja, ini sudah malam.”. Tapi kali ini ia terdiam melihat ke arah luar gedung Fisher yang gelap. Sekian detik ia tak bergeming.
            “Ia membakar perahu itu. ia membakar semua perahu mereka di tanah musuh. Sehingga mereka hanya memiliki dua pilihan. Menang atau mati. itulah pilihan.” Aku seperti merasakan hujan di dalam hatinya yang mulai bergemericik. Ia seperti menyimpan kisah yang serupa tentang dirinya. “Kau tahu apa yang ia katakana kepada prajuritnya?” Lanjutnya.
Aku menggeleng.
“Saudaraku, lautan di belakang dan musuh di depan kalian. Kemanakah kalian akan lari? sesungguhnya yang dapat melindungi kalian adalah pedang – pedang yang sekarang kalian genggam dan keteguhan kalian terhadap Tuhan kalian. Kalian di sini lebih terlantar dari anak yatim di perkampungan paling hina. Musuh di depan menyambut kalian dengan kejam, sehingga apabila kalian tetap sengsara tanpa ada perubahan, nama baik kalian akan hilang dan rasa gentar pada musuh berganti menjadi rasa berani pada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian!!”
Kamudian kami sama – sama terdiam, bulu kudukku berdiri mendengar suara parau Salman. Seperti ada yang benar – benar terbakar dalam hatinya.
“Ya, aku tahu..kemudian pasukan Tariq berhasil mengalahkan pasukan raja Roderick. dan berhasil membebaskan Andalusia.” Lagi – lagi Salman lama tak merespon perkataanku.
“Sejatinya bukan itu yang terpenting.” Jawabnya lirih sekali. “Bukan kemenangan yang akan membekas di mata sejarah, tapi proses, usaha, dan perjuangan di dalamnya.”
Kini ganti aku yang terdiam, benar sekali apa yang diucap Salman. Kenapa aku selalu terlalu sempit mengartikan sesuatu.
Salman mengemasi peralatan gambarnya lalu berkata, “Kau tahu, yang sering tercatat dalam sejarah adalah yang menyakitkan, bukan yang senang – senang dan penuh kelancaran. Aku pergi dulu, Assalamu’alaikum.” Ia berbalik meninggalkan meja kami.
“Waalaikumsalam, Salman sebentar!” Seruku cepat – cepat.
“Apa???” Ia berbalik
“Kamu Arsitek apa Ahli Sejarah?” Kataku kemudian. Ia hanya tersenyum lalu berbalik meneruskan langkahnya. Ahh Salman. Banyak sekali yang aku belajar dari patung es itu.

Tidak ada komentar: