“Apakah kau
pernah menginginkan sesuatu?”
“Maksudmu?”
“Hingga
setiap malam kau terbangun dan menangis tersedu – sedu.”
Aku diam.
“Iya, saat
itu aku benar – benar ingin pergi kesini” jawabku, kau menoleh tapi tak benar –
benar menghadapku. “Salman, pernahkah kau menangis seperti cara perempuan
menangis?” lanjutku.
“Tidak.”
“Aku tidak
percaya.”
“Itu bukan
urusanku.” jawabmu kaku.
Kemudian lagi
– lagi kami terdiam, Salman mengayunkan tangannya menjulurkan otot. Kemudian ia
tersenyum, senyum yang jelek dan sangat tidak simetris. “Makanya sering –
sering tersenyum biar senyummu itu simetris.” kataku dalam hati.
“Aku pernah
menangis karena aku tidak suka dengan menggambar bangunan, awalnya aku tidak
pernah menyukai arsitek.”
“Ha?”
“Aku ingin
menjadi psikolog.”
“Hahahaha.”
Tawaku meledak tanpa bisa dikendalikan. Tapi sesaat saja karena kulihat mimik
muka Salman jauh dari raut bercanda.
“Aku tahu,
ini pengakuan yang hanya akan membuatmu bangga. Tapi setidaknya, kau akan tahu
suatu makna keinginan. Bahwa keinginan itu muncul sesaat setelah kau menonton
tayangan iklan wafer coklat yang kau dapat kerenyahannya sekali gigit.”
“Jangan
menggunakan analogi aneh.”
“Oke, kau
menginginkan sesuatu setelah kau
melihat, membaca, mendengar referensi tentang suatu hal. Bahkan tragisnya, kau
akan menginginkan sesuatu ketika kau melihat orang lain menurutmu bahagia
memilikinya, padahal itu hanya persepsimu.”
“Karena itu,
aku harus menerima keputusan Tuhan meski tak sesuai keinginanku. Begitu kan
maksudmu?”
“Cerdas.”
Katamu setengah tertawa.
“Apakah kau
suka bercakap – cakap denganku Salman?” tanyaku dengan konyol yang sesaat
kemudian kusesali.
“Aku suka
bercakap – cakap dengan siapa pun, namun pada kenyataannya. Jarang ada orang
yang mau bercakap – cakap denganku seperti yang kau lakukan.” hemmkk. Aku
tertelan oleh kata – kataku sendiri.
“Mungkin
karena aku bodoh.” jawabku sekenanya.
“Kau tidak
bodoh, kau hanya selalu ingin tahu. Dan kau banyak mencaritahu dariku, ya, kau
memanfaatkan aku sebenarnya.” Ia sedikit tersenyum, lagi – lagi tidak simetris.
“Jadi kau
merasa terugikan.” sanggahku seolah tersinggung.
“Tidak. aku
hanya membuka topic dan tanpa kuminta, kau akan berpendapat semaumu.” Sesaat
kemudian Salman melambai ke arah very yang melintas di seberang dermaga. Tampak
di sana beberapa perempuan separuh baya melambaikan tangan pula ke arah kami.
“Kau mengenal
mereka.?”
“Tidak
sedikitpun”jawabmu. “Mereka akan senantiasa melambai untuk menularkan
kebahagiaan kepada siapa pun, itulah kepercayaan.”
“lebih ramah
daripada Indonesia.”
“Jangan
berkata begitu pada negaraku, aku akan tersinggung.” Ia memberikan lambaian
keduanya.
“Mengapa kau
amat mencintai Indonesia?”
“Karena aku
meletakkan cinta disana.”
“hmmm ?”
“Dimana aku
akan menyesal semumur hidup jika tak
membuatnya lebih baik.”
“Terlalu
rumit.”
“Itu hanya
perasaanmu.”
Sore itu di
tepi darling harbour lagi – lagi Salman menyentakku dengan kata – katanya yang
datar. kalimat terakhirnya yang membuatku semakin terpojok . “Salah satu rasa
ingin yang membuatku malam – malam menangis adalah pulang. Pulang ke tempat ibu
dan teman – teman kecilku merasakan ketidak adilan hidup. Dan aku malu untuk
pulang jika aku tak membawa kebaikan hidup bagi mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar