Ini sesaat setelah kebekuan itu mulai mencair atas jasa
sebuah kalimat yang (akhirnya) dia ucapkan “Kita akan turun.” Kemudian aku
mengikutinya masih dalam diam. Mungkin ini bukan seperti suasana mencair yang
pernah digambarkan dalam cerita bersambung yang kalian baca dalam sebuah
tabloid. Jadi, begini keadaanku. Dua hari lalu, aku berhasil menjejakkan kedua
kakiku sendiri di tanah negeri kanguru. Aku senang, ya. Aku sudah melakukan sujud syukur lusa itu.
Tapi hal lain yang mencoba mengganjal rasa bersyukurku adalah kebersamaanku
dengan teman baru yang aneh. Kami sama – sama dari Indonesia, itulah satu –
satunya alasan aku mau menjadikannya teman. Ia dingin bahkan lebih dingin dari
lelehan gletser dan atau apa pun yang menurut kalian paling dingin. Ia bahkan
tidak pernah benar – benar menatapku, ya aku tahu alasannya. Setauku itu adalah
salah satu adat jentelmen dalam memperlakukan wanita. Aku tidak ada alasan lain untuk pergi darinya ketika Kak Prima,
Sekjen pengelola beasiswa berkata. “Dia salman, ku harap kalian akan berteman
dengan baik. Untuk saat ini hanya dia yang bisa membantumu menghadapi masa -
masa awal. Apa pun yang terjadi, jangan melarikan diri darinya. Dia pendiam,
tapi sebenarnya hangat.” Aku sudah cukup mual mendengar kata – kata itu, dan
sekarang kemualan itu telah meradang di dinding lambungku hingga terasa gatal.
Kamudian kami berjalan sepanjang oxford street, dengan aku
yang menyeret koper besarku sendiri, menggendong ransel sialan itu sendiri.
Tanpa tawaran untuk membawakan atau berjalan secara pelan – pelan demi
mengimbangi langkah kecilku. Uuhh, aku
tak mau memintanya berhenti (itu bukan diriku). Sesaat kemudian aku
berucap maaf pada Kak prima karena berniat melarikan diri dari makhluk itu.
Kubiarkan ia mengikuti langkah jontornya sendiri, dan kuhempaskan tubuhku pada
bangku besi bercat putih di bawah pohon quince. Aku pikir ia tak menyadari
karena telalu tak peduli, tapi beberapa saat kemudian kudengar langkahnya
kembali. Menungguiku lalu berkata, “Butuh waktu berapa lama untuk istirahat.”
Kalian boleh membayangkan mimik tidak sabarnya yang membosankan semau kalian.
“Pergilah,aku tak mau merepotkanmu. Aku sudah besar dan aku
akan menemukan alamat itu sendiri.” Aku berkata begitu seolah aku benar – benar
yakin ia tak akan meninggalkanku. Tapi aku berani bertaruh, jika ia laki – laki
sejati. Ia tak akan meninggalkanku sendiri.
Diam tak ada tanggapan, kemudia kulihat ia bergerak. Aku
pikir ia akan benar benar pergi. Sesaat kemudia aku baru tersadar, ia duduk di
bangku seberang? (Menghina! memang aku
panuan).
“Kamu capek?” Begitu katanya sembari membenahi tali sepatu.
“Tidak, aku hanya merasa aku menjadi beban bagimu. Kau diam
sepanjang perjalanan, dan sepertinya kau tidak menyukaiku.”
“hhh…(apakah dia tertawa, itu tidak jelas). Apa alasanmu
kesini?”
“Cita – cita.”
“Hanya itu?”
“Ya.”
“Kau akan bahagia ketika cita – citamu tercapai?.” Ia berkata
lalu diam, tetap seperti awal. Tanpa memandangku.
Aku ingin mengatakan, lebih baik kamu diam atau pergi
daripada memberi pertanyaan aneh seperti itu. “Ya tentu aku akan bahagia.” tapi
jawaban itu yang keluar dengan enteng. Bagiku, awalnya dia seperti manusia yang
kekurangan bahan pembicaraan. Namun kemudian, aku tersadar dengan jawaban yang
kulontarkan atas pertanyaannya.
“Siapa yang menjamin kamu akan bahagia?” Aku tidak tahu,
makan apa sehari – hari makhluk seperti itu. Tapi ia begitu pintar memojokkan.
Aku hanya terdiam, sesaat kemudian ia berdiri dan menyeret koperku seraya
berkata. “Kau akan menghabiskan $3.2 untuk sekedar duduk di sini. Tidak ada
acara kekanakan dalam perantauan.”
Dengan mengalahkan ribuan rasa kesal, aku mengikutinya tetap
dalam diam, melihat punggung manusia aneh itu dari belakang yang menyeret koper
hijau lumutku. Aku tidak benar tahu orang seperti apa manusia itu, tapi
perkataannya memberi kesibukkan otakku untuk lebih berpikir “Apakah tercapainya
semua cita – cita akan membuat manusia bahagia.” Ahh aku konyol. Bahagia atau
tidak, itu urusan Tuhan. Selama aku melakukan yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar