“Berjuang bukan hanya sekedar berkeringat atau kau
menghabiskan banyak waktu tidurmu untuk mengutak - atik tumpukan file yang katamu brengsek
itu. Yah, berjuang…bisa kau baca bertahan terhadap sesuatu yang kau benci lalu
kemudian kau bisa merubahnya menjadi teman setiamu, bahkan tanpa kau sadari kau
merasakan kenikmatan karenanya. Jika tidak, periksalah hatimu, mungkin ada
sistem yang salah di dalamnya.” Salman berkata tanpa sedikit pun menolehku,
matanya tetap berkutat di atas kertas gambar yang ia pelototi sejak sejam yang
lalu. Beberapa pencil dan penggaris, busur serta alat yang tak ku kenal
bertebaran di sekitar sikunya. Dan aku, aku duduk di seberang mejanya juga
menyibukkan diri dengan layar laptop menaik turunkan kursor pada file yang
kurasa sudah sempurna.
Yah, aku mengenal Salman dua bulan lalu, seperti ceritaku
sebelumnya. Walau bagaimana pun, ia adalah orang paling berjasa di sini. Meski
dengan tampang lempengnya yang akan memancing orang melempar kacang asin ke
arahnya, ia selalu menanyakan apakah aku sudah tahu dimana perpustakaan, apakah
aku sudah tahu dimana tempat belanja termurah, apakah aku tahu waktu yang tidak
aman jika aku di luar rumah. Singkatnya, bukan ia yang berubah menjadi hangat,
tapi aku yang beradaptasi dengan kebekuannya.
Aku memang tidak membayangkan, aku akan bisa berteman dengan
patung es itu. Tapi, ia selalu mengatakan sesuatu yang menimbulkan rasa
penasaran untuk bertanya lebih lanjut. Ohya, banyak yang telah kuketahui
tentang Salman. Ia mahasiswa Institute
Architechture Macquarie yang sama sepertiku mendapat beasiswa dari AusAid.
Umurnya tiga tahun di atasku, namun karena ku pikir ia jarang tertawa, ia jadi
terlihat tiga tahun lebih tua daripada umurnya. Kak Prima pernah bilang, Ia berada di negeri ini sejak mengambil
program S1. Dan selama itu pula ia tidak pernah mengunjungi tanah air. Mungkin
itu yang membuatnya begitu keras.
“Kenikmatan apa yang kau maksud?” Kataku setelah sekian lama
mencerna kalimatnya.
“Kenikmatan ketika kau bekerja bukan untuk uang, bukan untuk
sanjungan, juga bukan untuk membahagiakan dirimu sendiri.”
“Lalu?”
“Ketika kau melakukan semua itu hanya untuk satu misi.”
“Apa itu?”
“Mencintai Tuhan.”
Aku lagi – lagi terdiam. Kalimatnya kembali memaksa otakku
bekerja. Ia selalu mengatakan sesuatu yang coba kurangkai menjadi satu
kesatuan, yang kemudia kutemukan maksud yang ia sampaikan selama dua bulan
terakhir ini. “Aku mutlak akan bahagia jika aku bekerja untuk Tuhan.” Ya, aku
tahu itu maksudnya. Tapi kenapa ia tak berucap kalimat itu secara lugas. Biar
aku lekas mengerti.
“Jangan sempit mengartikan itu,” Sanggahnya cepat – cepat.
Aku mencoba menekan rasa penasaranku. Ku tunggu kalimatnya kemudian. Tapi ia
tak bergeming, ia terlihat seperti menimbang atau menghitung sesuatu di dalam
imajinasinya seraya memainkan pensil menggunakan jemarinya. “Tuhan tidak pernah
memerintahku secara jelas untuk menjadi seorang arsitek. Ia juga tidak
mewajibkan belajar matematika. Tapi untuk membangun runtuhan kebodohan masalalu
itu, dunia membutuhkan tangan seorang arsitek. Dan Tuhan menginginkan tanganku
melakukannya. Karena itu, aku akan terus belajar karena Tuhan menugaskanku
membangun peradaban lebih baik. Jangan bilang kau masih belum mengerti kata –
kataku. Kau hanya perlu lebih banyak membaca sejarah, bagaimana kau terlahir
seperti itu jika Tuhan tak mempunyai misi untukmu. Dan yang perlu kau garis
bawahi, misi Tuhan selalu baik. Jika hasilnya buruk, objek misi itu yang patut
dipertanyakan..”
Kesekian kalinya aku mematung, bahkan hingga ia mengucap
salam lalu pergi meninggalakanku senja itu di bawah kanopi di tepi jalan raya
oxford. Satu sisi yang kutemukan dalam diri Salman yang belum pernah kutemua
pada diri orang lain. Ia adalah Kristal es yang bening di tengah gua yang
pekat, meskipun dingin ia menyinari. Pernah ia berkata kalimat yang masih kau
ingat. “Jika kau sakit hati karena negara tak memberi penghargaan atas usahamu,
pergilah ke tempat dimana kau dihargai. Karena sesuangguhnya, pejuang itu tak
membutuhkan penghargaan jika ia bekerja untuk Tuhan. Dan penghargaan Tuhan tak
selalu Dia tunjukkan secara kasat di mata manusia.”
Surabaya 16 Februari 2013
Awal tahun yang penuh teka - teki,
banyak janji yang telah terbuat,, dan harus terpenuhi
Surabaya 16 Februari 2013
Awal tahun yang penuh teka - teki,
banyak janji yang telah terbuat,, dan harus terpenuhi
2 komentar:
bahasanya keren, nice post :)
okay thankie... :)
Posting Komentar