Kamis 17 May 2012
Masih melanjutkan kisah sebelumnya.
pagi itu dalam kereta menuju kota tercinta. BLITAR. saya
duduk pada bangku 4E. Alhamdulillah itu berarti saya duduk di dekat jendela.
sebelah saya msih kosong, dua penumpang di depan saya seorang kakek dan seorang
perempuan yang menurut saya berumur 27an tahun. Kami hanya memulai mengobrol
saling menanyakan tempat dimana kami akan turun. Cukup sampai disitu. Stasiun
berikutnya. si embak berkacamata duduk disebelah saya. Si embak ini rame,
istilah tepatnya ‘berisik’. Beberapa kali ia meminjam kipas, menyuruh saya
membuangkan sampah lewat jendela. bahkan menyuruh saya mengangkatkan telfon.
*apa maksudnya coba?
“Mbak minta tolong buangkan.” katanya sembari menyerahkan
bungkus biscuit.
“Di buang di bawah bangku saja mbak.” jawab saya sedikit
malas.
“jangan mbak nanti keretanya kotor.” tampang memaksanya
sedikit membuat saya nyaris emosi.
Akhirnya saya buangkan. entah kenapa saya jadi ingat seorang
teman. Yang dulu selalu melarang membuang sampah di luar kereta “Kalau di dalam
kan ada yang nyapuin, kalau di luar, di rel, siapa yang mau nyapu.” begitu
katanya.
Katakanlah mbak tadi bernama Mawar. Sudah ada berapa mawar
dalam gerbong kereta itu, gerbong 1 2 3 4 5 6 7, kereta jurusan malang,
bandung, yogya, banyuwangi, Jakarta. Itu mawar yang di kereta, yang di bus
kota, bemo, kapal laut. Kira2 ada berapa mawar? sepuluh? seratus? seribu? Itu
lah yang membuat hal ini “membuang sampah sembarangan” terkesan mengakar
menjadi budaya negara. Membuang sampah sembarangan? wajar.
Sebelumnya, saya tak pernah berpikir jauh tentang sebuah
bungkus permen, akan saya lempar begitu saja dimana pun saya berada. Namun
sekarang saya teringat teman saya lagi. Suatu saat kami berjalan bersama dan
dengan sengaja saya membuang bungkus permen di jalan. “Ambil.” kata teman saya.
“Nggak mau, kalau nggak ada tempat sampah berarti boleh dibuang dimana pun.”
sifat pengeyel saya beraksi. “Ambil, simpan di saku.” katanya lagi. Tak saya gubris. Saya terus berjalan. Tapi
ternyata teman ini tetap berdiri di tempat, ia tak mengikuti saya. Saya tahu
maksudnya. Lalu saya mengambil bungkus permen tadi. Dan masalah selesai.
Pelajaran kecil. banyak hal yang sering kita sepelekan. yang
kita tak pernah menyangka, bahwa itu akan berdampak besar. karena hal sepele
itu hampir dilakukan oleh semua orang. Coba semua orang seperti teman saya
tadi? Kalah bersih Jerman saja sama Indonesia. *bisa2 ge-er ini dia.
Jika dalam buku “Dalam Dekapan Ukhuwah” Salim A Fillah
menuliskan Medan is Honesty dan Yogyakarta is Hospitality. So what Indonesia
is? clumsy?. No, Indonesia is a piece of
Heaven begitu kata pujangga. Tapi tepatnya mungkin heaven yang tepi2 yang
tetanggaan sama neraka.
Berbicara tentang budaya, saya ingin melencengkan topic
tulisan saya. Indonesia tak hanya kumuh. Tapi molor. Anda pernah mendengar
“Maaf, saya terlambat.” Berapa kali sebulan. Seminggu. Sehari. Saya yakin akan
sangat sering. Mengapa? Apa salah Indonesia hingga dikutuk memiliki rakyat yang
kotor dan molor.
Indikasi saya. salah satunya adalah karena warna Indonesia adalah
egosentrisme. Loh? Karena orang yang telat seringkali tak mau dirugikan dengan
datang tepat waktu.
“Ah nanti dianggap terlalu rajin, terlalu bersemangat.”
“Nggak mau ah, orangnya kan mungkin juga telat. daripada
saya nungguin.”
“Lebih baik telat, nungguin itu membosankan.”
“bentar ah, belum waktunya berangkat.”
………………………………………………………….
beberapa kata di atas lah alas an yang mungkin digunakan
teman anda, tetangga anda, anda, atau bahkan saya dan orang2 pada umumnya.
Seringkali telat adalah suatu pilihan. Yang menjadi penghalang bukan unsur
eksternal tapi internal.
Jadi apa kesimpulannya?
Bukan
Bukan salah Indonesia
Bukan salah pak Esbeye
Salah saya, salah anda, salah kita semua.
Lalu bagaimana cara kita memperbaiki. Mungkin anda masih
ingat dengan seorang teman yang saya ceritakan di atas. Dengan tegas
mengingatkan saya untuk membuang bahkan sebuah bungkus permen. Mari kita mulai
dari diri sendiri.
Kalau masalah telat. Masih ingat cerita saya tentang
pengalaman saya kehabisan tiket kereta. Apakah saya telat? tidak. saya tidak
telat karena kereta tak akan berkompromi jika saya telat. Bahkan orang2 datang
lebih awal. Bagaimana ya, jika telat di Indonesia tidak dikompromikan? :D
Actually, banyak sekali keunggulan Indonesia. Semua sudah
tahu, karena wawasan nusantara di pelajari sejak SD hingga kuliah. Tapi kenapa
ini. Was Indonesia lack? Human resource is the answer.
Karena itu “Change Your Life” kata Ustad Ahmad Arqom.
Merubah diri = merubah orang di sekitar kita. Modelling learning Bandura = apa
yang sering anda lihat, kian lama akan merubah pikiran anda. Kita tak perlu
koar2, cukup lakukan untuk diri sendiri. Paling tidak, Indonesia akan menjadi a
piece of Heaven bagi diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar