VENUS dalam Hatiku
Secercah cahaya bintang menghangatkan hatiku
Menyalimuti seluruh gundah raguku
Ubun – ubun kepercayaanku telah menyala
Yakinku untuk segala cinta yang `kan ada
Ku yakin akan seperti bintang cintaku
Terasa kehangatan sinar redup
membakar ujung jari kakiku. Bisa kupastikan hanya dengan menghitung detik,
teman keciku ini akan lenyap termakan bara api.Dan jika tidak aku tak kan pernah beranjak dari
tempat ini. Karena hanya jika lilin ini mati baru aku meninggalkan tempat
kesayanganku ini.Benar yang kuduga, tak sampai semenit lilinku mati.GELAP.Aku
benci gelap, tapi aku juga tak suka terlalu terang.Kini, tempat aku duduk
melingkarkan tanganku pada lutut, tempat di mana setiap malam aku melihat bintang
hanya tersinari senyuman bintang – bintang kecil nan jauh di langit. Aku segera
berdiri, Bunda telah menungguku. Kulangkahkan kaki menuju jalan pulang, lampu
jalan tampak menyala sepi. Kurasakan gerak kaki mengikuti langkahku, bulu
kudukku tersengat, kubalikkan badan, sesosok manusia jangkung berbalik dan
mencoba berlari. Tak akan kubiarkan, kuambil batu di bawah kakiku ku lempar
keras ke arahnya.KENA. Manusia itu berhenti, berbalik ke arahku lalu memegangi
tempurung kepalanya.Aku mendekatinya.Ia meringis kesakitan. Rasanya aku ingin
tertawa.
“Maaf…sakit ya, kamu sih
mencurigakan.” Wajah itu sedikit terlihat diantara remangan lampu jalan.
Seorang cowok yang masih memegangi kepalanya. Keharap ia tak hilang ingatan
karena itu.
“Aku yang salah, maaf ya sudah
membuntutimu.”Ia terlihat salah tingkah, melepaskan tangan dari kepalanya lalu
mengulurkan padaku. “Reand, tetangga kamu.Orang yang kerap kali kamu cuekin
ketika senyum sama kamu.”aku terbengong.Tetanggaku? Sering senyum padaku? siapa?
Reand?.”Eh..hmmm Faya, itu kepala kamu nggak apa kan ?” Ku tunjuk kepalanya dengan
kelingkingku.Aneh, setelah senyam – senyum tanpa makna ia sontak merintih
kesakitan. “Aduh..duh sakit banget,lihat nih benjol.” Aku menangkap kepura –
puraan di raut mukanya. “Maaf ya…kapan – kapan, aku buru – buru.” Aku lari
meninggalkan cowok aneh unik itu dengan kekonyolannya.
Malam setelah itu, hampir setiap
malam Reand menemaniku tepatnya memaksa menemaniku. Menghabiskan malam untuk
melihat bintang di taman complex. Aku memang tergila – gila pada benda kecil
penghias langit itu, terutama Venus. hingga sejak dua bulan aku pindah ke
perumahan ini, aku memilih taman ini sebagai tempat favorit.Reand menjemput dan
mengantarkanku, yang membuat aku sedikit terganggu,ia tak bisa diam. Selalu
mengocehkan sesuatu, tentang cintanya yang terpendam, gadis impiannya, dan rasa
sebelnya pada makhluk bernama Rindu. ”Rindu membuat setiap orang melakukan apa
saja demi mengobati rasa rindunya, meskipun harus di gigit nyamuk taman.”
Katanya waktu itu tanpa melihatku. Sekilas kulihat sinar aneh dalam raut wajah
reand. Entah, seperti sinar yang telah lama ku cari. Sinar yang membuatku
nyaman dan ingin terus menatapnya. “Faya, Bintang bintang kesayanganmu itu
suatu saat akan menunjukkan siapa cintamu.” Reand masih berkata dengan nada
yang tak serius. Mimik lucunya kadang membuatku ingin menonjok pipinya.Tapi
malam itu malam terakhir ia menemaniku, hampir dua bulan ditemani. Rasa rindu
mulai muncul dalam sisi – sisi hatiku. Reand kamu kemana?
Dan Pagi itu Tante Andrea, Mama
Reand. Ibu cantik itu histeris di depan rumahku. Ia datang karena Reand
memintanya menjemputku. “Faya.. Reand Faya…dia terkena kanker darah stadium
empat.” DEG. Bilik di jantungku seakan berhenti berdetak, aliran darahku
seperti tersengat listrik, kakiku lemah, aku terjatuh. Semua sendiku seakan
telah putus, tangisan tante Andrea semakin membunuhku. Aku dan tante sama –
sama terduduk. Seperti Tante Andrea, mataku terhujani butiran – butiran kristal
bening. Tante berbisik lirih tepat di telingaku. “Faya…Reand menunggumu, waktu
kalian tak banyak. Ada
yang ingin ia sampaikan padamu. Sekarang kita harus ke rumah sakit.” Mendengar
itu, tubuhku seperti teraliri energi yang entah darimana. Aku berdiri, kuseret
tante menuju mobil. Aku yang menyetir. Kecepatan maximal. Aku tak peduli beribu
klakson meneriakiku. Karena di pikiranku hanya ada Reand. Tiba – tiba hatiku
menjeruit. REAND…!!!
Aku berlari menuju ruang ICU, tempat
di mana Reand menungguku. Aku rasa, sedetik pun aku telat, hidupku akan hancur.
Kulihat pintu ruangan itu tertutup. Ayah Reand terduduk lemas, menundukkan
kepala dan menyangganya dengan kedua tangannya. Terlihat tetesan bening berdiri
di sudut bibirnya yang bergetar. Pintu ruangan terbuka. Aku berlari kedalam.
REAND!. Aku mendekat, hujan dalam hatiku semakin deras. Reand menutup mata.
“Reand?” Suaraku lirih nyaris tak keluar. Kulihat perawat di sampingku
mengangguk. Semua gelap.
Itulah sepenggal kisah tentang
Reand, cinta pertamaku dan segala kenangan tentangnya yang masih terukit nyata
dalam jantungku. Reand meninggalkanku tanpa pesan. Reand pergi membawa cinta
yang tak sempat kuungkapkan. Dan itu menyiksaku. Dua bulan pertemanan yang tak
begitu dekat diantara kami telah membekas di hatiku. Seribu sesal menghantui
jiwaku. Reand, bintang yang selalu menemaniku telah tenggelam. Padahal, aku
masih ingin menikmati sinarnya. Dia bukan hanya bintang, tepatnya venus.
Bintang yang sinarnya paling terang dalam hidupku. Kan ku ukir kisah ini bersama terangnya
Venus. Kukabarkan pada seluruh pemilik cinta dalam jagat raya ini. “Jika kau
punya cinta, katakanlah selagi kau dapat mengatakannya. Sebelum suatu saat kau
menyesal, karena hanya bisa menulis kata cintamu di atas nisannya.” (Furi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar