Gegara tugas
akhir alias skripsweet, saya jadi punya kebiasaan baru. Apa itu?? tam taram
taraam.. Membaca jurnal ilmiah! Keren kan? hehe. Bukan apa-apa sih, karena
nyari materi nggak nemu-nemu di buku ujung-ujungnya apalagi kalau bukan jurnal.
Sebelum-sebelumnya hanya ada dua jenis jurnal yang saya baca, kalau nggak tentang
autism spectrum disorder (materi skripsweet saya), ya saya tertarik
sebuah karya ilmiah karena siapa yang nerbitin, kota impian saya, Sydney, New
South Wales. Tapi yang aneh, hari ini saya nyasar ke sebuah jurnal dari
Findland, dari University of Helsinki. Karena saya tertarik dengan judulnya,
yang kalau dibahasa Indonesiain jadi Orientasi (cita-cita) dan Subjective
Well-being.
Jadi Katariina
(Peneliti), ingin mengetahui bagaimana cita-cita memperngaruhi subjective
well-being seorang dewasa awal (seumuran gue), dalam hal ini murid-murid high
school yang berjumlah 1147. SWB (Subjective Well-being, kata anak-anak
psikologi enaknya disingkat begitu) secara bahasa kita adalah cara seseorang
mengevaluasi tentang kualitas hidup mereka, seberapa berbahagia seseorang dalam
menjadi hidup mereka. Jadi untuk mengukur hal tersebut Katarina menggunakan
beberapa skala, seperti motivasi, gejala-gejala depresi dan kepuasan hidup.
Dalam
perjalanan penelitian ditemukan empat ketegori cita-cita, Kekayaan, Pekerjaan,
Pengembangan diri danHubungan sosial
. Hasilnya menarik. “the group was titled a property
orientation. This group included 458 (40%) of the adolescents, of whom 62% were
boys. the group was titled a vocation orientation. This group included 278 (24%)
of the adolescents, of whom 60% were boys. the group was titled a self-focused
orientation. This group included 145 (13%) of the adolescents, of whom 71% were
girls. the group was titled a social relationships and future education
orientation. This group included 261 (23%) of the adolescents, of whom 68% were
girls.”
Ber-dasar-kan hasil penelitian di atas,
terlihat kan siapa yang sebenarnya materialis, kok perempuan gitu lo
yang selalu dikambing hitamkan. harus segera diluruskan ini. xoxoxoxo.
Singkatnya setelah melalui prosesi
statistik yang saya nggak mau bahas (*bikin pusing). Ditemukan bahwa mereka yang
dalam kategoritujuan hidup ‘mengembangkan
diri’, ‘pendidikan’ dan ‘hubungan sosial’ memiliki SWB lebih
tinggi daripada yang lain. Mudahnya, memiliki kualitas kebahagiaan dengan cara
lebih baik di banding yang memiliki tujuan hidup ‘pekerjaan’ dan ‘kekayaan’.
Bukan apa-apa saya menulis ini, selain
sekali-kali menyediakan ruang untuk pengetahuan umum kelimuan favorit saya ini,
juga mengingatkan bersama-sama bahwa materi bukan tolok ukur kebahagiaan.Materi memang untuk hidup, tapi hidup bukan
sekedar mencari materi. Karena mengejar materi itu tak pernah ada sudah.
Sumber : Aro, Katariina.2012.Personal
Goal Orientation and Subjective Well-beling of Adolescents. Japanesse
Psychologycal Research.
-Aku menyesalkan untuk banyak hal yang tidak terjadi,
maaf-
Kau sampai mana? apabila mengingat-ingat saat itu, aku jadi
malu sendiri. Entah bagaimana kehadiranmu begitu membentuk di hatiku. Pantai
kotak favorit kita, senja, ombak, pasir berwarna tulang. Semua sempurna
memesona. Entah mengapa deklarasi mimpi sore itu –yang tanpa kita sadari-
menjadi awal dari segala keterpisahan kita. Mimpi kita berbeda, itu saja. tapi
aku menyukai satu hal sama, target-target itu, target mendekati-Nya.
“Aku ingin menjadi orang hebat yang membela Islam,” Katamu
sombong.
“Aku ingin menjadi menjadi ibunya orang-orang hebat yang
dimiliki Islam.” Sesumbarku tak kalah sombong.
Lalu kita tertawa berisi, dan sejenak pikiran melayang ke
dunia antah berantah.
Kemudian, jalan kita berlaju sendiri-sendiri. Tanpa ada
singgungan tanpa ada sejajaran. Dalam tidak sadar, ada harap yang kita lupa
sampaikan. Semoga seperti hujan, jatuh pada tempat sungai berbeda, menyatu pada
tempat yang sama, samudera.
“Kenapa tak kau sendiri yang menjadi hebat, mengapa harus
anak-anakmu?” Waktu itu, sungguh janggal sekali bocah ingusan seperti kita
membicarakan hal itu. “Karena seorang yang hebat, dibesarkan oleh orang yang
tak kalah hebat.” Aku puas, jawaban yang ku comot begitu saja dari langit itu
begitu diplomatis. Kau pasti terpesona waktu itu.
Waktu itu. Ya waktu itu. Telah terbingkai menjadi moment yang
terpajang abadi di museum kenangan di hatiku. Mengingat-ingatnya membakar
energiku. Dan kau, kau sampai mana? apakah aliran sungaimu mulai mendekati samudera?
Semoga kita berjumpa dalam samudera yang
sama. Biarlah saat ini aliran kecil kita mengarungi liku sungai sungai kecil,
menerpa bebatuan kasar, atau jatuh di tebing yang curam. Biarlah. Semoga ini
menjadi bagian-bagian kecil menuju samudera, menjadi langkah-langkah kecil
menuju manusia-manusia hebat. Jangan takut melangkah, jangan menyesali yang
sudah sudah, karena percayalah. Kita akan lebih banyak menyesali momentum terlewat
yang seharusnya terjadi.
“Terkadang, setelah semua kita lepaskan, kita mendapat apa
yang kita inginkan”
-Iklan Rokok
Hidup ini lelucon, episode yang terlampau menarik untuk
sekedar memenangkan piala Oscar. Tak perlu sulit-sulit mengambil contoh. Kita
mungkin sama-sama iri, bagaimana gadis kecil semenyebalkan Masha bisa memiliki
teman seloyal Bear. Atau monyet konyol George memiliki sahabat sebaik Pria
Bertopi Kuning. Oh mungkin ini jelmaan keadilan Tuhan yang harus kita terima
tanpa syarat. Lalu? Apakah kita perlu menjadi siapa untuk mendapatkan siapa
demi melihat suatu jalan cerita yang menarik?
Dari awal, Ayah melarangku menanyakan hal-hal semacam ini.
Mempertanyakan kebenaran. Tapi semakin dewasa, dari semua pertanyaanku aku
menemukan sendiri jawaban yang menggenapi segala tanyaku. Itulah mengapa aku
sangat tertarik dengan dunia cerita, aku banyak mendapat jawaban justru dari
sana. Banyak cara untuk menjadi istimewa dengan sederhana, banyak jalan untuk
membuat memesona cara yang biasa.
Seperti halnya dengan beruang kutub gendut itu, ia tak kan
menjadi sesabar itu tanpa memiliki teman semenjengkelkan Masha. Dan yang
menjadi rahasia, ulah konyol Masha adalah hal yang paling membuat Bear hanyut
dalam kerinduan, meski ini selalu ia sembunyikan. Kamu tahu, ia tak mungkin
serindu itu bila Masha adalah teman yang biasa-biasa saja.
Manusia, terkadang terlalu bersusah payah untuk sekedar
berbahagia. Menempuh cara-cara paling sulit agar terlihat mengesankan. Hingga
pada akhirnya ia lupa, kesibukan membentuk kesan hanyalah menyisakan sedikit
waktu untuk berbahagia.
Inilah satu dari sekian alasan aku menyukai waktu yang
kuhabiskan denganmu. Berburu matahari tenggelam lalu menikmatinya seolah besok
ia tak datang lagi, entah mengapa hal ini membuat segalanya terasa istimewa.
Mengagumi senja tanpa merutuki malam. Dan menjadi pelajaran yang belum pernah
diajarkan oleh guru kelas apa pun, terima kasih untuk pelajaran berbahagia
dengan cara sederhana. Sehingga kita selalu memiliki alasan untuk mengatakan,
maka nikmat Tuhan yang mana yang akan kita dustakan.