Sekali
duniaku menampakkan
Akan
mengejutkan semua orang
Bukalah
mata, lihatlah bagaimana aku berlari,
Bagaimana
aku berputar ke sisi yang lain
Aku akan
meluncur seperti burung
Aku hanya
ingin memiliki, seribu sayap untuk terbang
(Taare
Zameen)
Saya mencari-cari,
apa beda saya yang sebelum belajar Psikologi, dengan saya sekarang yang dua
bulan lalu diwisuda. Tidak banyak beda sebenarnya, saya tetap tidak bisa
menghindarkan diri dari berkhayal yang aneh-aneh, saya juga masih emosional dan
larut terbawa suzana eh suasana, masih juga sering uring-uringan kalau-kalau
merasa terdzolimi, padahal belum tentu. Kalau masalah pendengar yang baik, dari
dulu-dulu sebelum belajar Psikologi juga udah gitu. Jadi dapat apa?
Alhamdulillah,
saya menemukan sesuatu. Yaitu saya menjadi tidak mudah taking for granted,
alias menyamaratakan, alias berpikiran yang gini itu pasti gini. Artinya, saya
kalau ketemu yang janggal jadi suka mikir, eh masak sih gini, atau, kok dia
bisa gitu kenapa ya? Karena dalam Psikologi, kami diajari untuk tidak mudah
mengatakan “PASTI”, karena manusia makhluk yang tidak pasti, makanya banyak
yang pemberi harapan palsu alias PHP, alias nggak pasti --___--“ #towewew
Di Indonesia
tercinta ini, sayangnya manusianya suka memukul rata. Suka masti-mastikan
sesuatu yang belum tentu seperti itu. Contohnya, pinter harus jago matematika,
jadi dokter, kuliah di universitas keren. Karena menurut saya, Indonesia
sukanya pakai metode kuantitatif. Apa yang jelas-jelas bisa ditakar, nilai
matematika 90 misalnya, kan jelas. Bagus sih, tapi di sini tanpa sadar terjadi
pendzoliman, penyisihan, peminggiran, kepada kaum-kaum yang nggak jago
matematika (curcol xoxo).
Ada yang
pernah melihat film Taare Zameen atau ada versi Indonesianya yang saya lupa
judulnya apa? Entah, saya begitu sensitive kalo bahas anak-anak special. Bagi
saya, dunia ini jahat kepada mereka. Pelabelan, pengucilan, mengatakan bahwa mereka tidak punya masa depan. TT__TT
Padahal mereka tidak pernah meminta dilahirkan demikian.
Ishaan, main
character di Taare Zamee adalah penderita Learning Disabilities atau kesulitan
belajar jenis Dyslexia. Learning Disabilities (LD) mudah menyebutnya,
gangguan-gangguan neurologis yang mengakibatkan seseorang mengalami kesulitan
dalam belajar, tapi mereka memiliki intelektual normal, alias mereka tidak
retardasi mental, mereka tidak down syndrome, bahkan kadang mereka memiliki IQ
di atas rata-rata.
Orangtua,
guru, atau bahkan kita sendiri kadang lebih mudah mengatakan ‘malas’ atau
‘bodoh’ daripada kesulitan belajar. Tapi memang apa bedanya? Mereka memang
menampakkan cirri-ciri sebagai anak demikian, kan? Sungguh, saya sangat setuju
sekali dengan quote Yohanes Surya. “Tidak ada murid yang bodoh, yang adalah
mereka yang belum mendapat kesempatan belajar dengan guru yang baik.” Kalau
kamu merasa menemukan murid bodoh, periksalah metode mengajarmu, periksalah
cara mendidikmu.
Bodoh, adalah
label yang kejam. Ketidakmampuan kita mengarahkan atau menemukan metode yang
membuat anak mengerti dan memahami menarik kita untuk lebih mudah melabelinya
demikian. Sehingga pengajar atau orangtua yang mengatakan muridnya bodoh adalah
telah gagal menjadi pendidik yang baik.
Akan lebih
mudah menggambarkannya seperti ini. Jika ada segolongan orang di dunia ini
menganggap bisa baca dan mengerti tulisan arab itu adalah pintar. Sedang anda
tidak mengerti tulisan arab sama sekali apakah anda mau dikatakan bodoh?
Ini hanya
membicarakan ukuran yang tak sama. Cara yang tak sama. Dan dunia yang begitu
berwarna. Semoga kita selalu bisa meluaskan hati untuk menerima, menjernihkan
mata untuk melihat. Banyak hal yang lebih dari sekedar kita pikirkan.
“Setiap orang
itu jenius, namun jika anda menilai ikan dari kemampuanny memanjat pohon, dia
akan meyakini sepanjang hidupnya bahwa dia itu bodoh”
_Albert Einstein
Agustus, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar