Karena tahu saya seorang blog
walker, tadi siang seorang kakak angkatan ngasih sebuah alamat blog milik putrinya
seorang motivator Jamil Azailini, yang sekarang sedang mengambil bachelor of
Psychology di Hannover, Germany. Awalnya, karena saya memang dasarnya suka baca
blog, langsung saya lihat. Pandangan pertama, biasa saja. Nggak ada yang
menarik dari kisah perjalanan seorang mahasiswi di negeri rantau. Saya sering
baca puluhan blog – blog lain serupa. Namun, setelah membuka beberapa
postingannya Nadhira (nama yang punya blog). Entah, saya jadi banyak
tersinggungnya. Hal ini terutama kata “Jangan menyebut nominal dalam berdoa,
hal itu membuktikan bahwa kita ragu kalau Allah itu maha kaya.” T.T #speechless
Entah, saya jadi banyak berpikir.
Jangan – jangan Allah membenci caraku berdoa, mungkinkah aku lancing di mata
Allah, terlalu sering minta ini itu tanpa tading aling – aling. Nangis lah
akhirnya saya. Bener saya nangis, ngrasa bersalah banget aja. Alhamdulillahnya
sorenya saya ada jadwal melingkar, langsung saja saya tanyakan pada MR saya
perihal doa itu. Lagi – lagi, dan selalu dengan bijak beliau menjawab. “Doalah
dengan caramu, Dek. Allah maha mengetahui. Justru menceritakan semuanya ke
Allah lebih baik daripada menceritakan ke selainnya.” Alhamdulillah agak
lega.
Tentang doa. Hal yang paling sering
digaung – gaungkan Ayah, “Mintalah yang banyak, Allah maha kaya.” Saya
selalu percaya, entah doa segera, atau tertunda, atau dig anti dengan lebih
baik. Doa pasti terkabul. Pernah Ayah bilang “Allah nggak bakal nolak doa
orang berbuka puasa, Mbak.” Karena itu lah, bagi saya. Doa adalah bahan
bakar usaha, ia lebih penting dari usaha itu sendiri. TAPI. Salah kaprahnya
adalah, doa – doa itu sering kita jadikan tameng untuk mencari dunia, mengejar
cita – cita yang tinggi, lalu berimplikasilah menjadi lupa akhirat. Mungkin hal
yang harus saya renungkan adalah, berapa porsi akhirat dalam setiap doa – doa saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar