Tapi
ingat, dia pendendam. Bisa jadi kau sudah lupa pernah menyakitinya. Tapi ia
akan menyimpan lama – lama luka itu di hatinya, dan mungkin saja suatu saat ia
ungkit kembali.
“Sebegitunya
kah?” Tanya Salman kemudian, membenahi posisi duduk, lalu mengulangi
kebiasaannya memainkan pensil.
Sore itu kami
tertawan lagi – lagi oleh hujan, kali ini bukan di halte Quadranggle, juga
perpustakaan fisher, kami menahan dingin udara winter di bawah kanopi di sebuah
kedai roti di tepi jalan raya Oxford.
“Kau Melankolis?”
Tanyanya kemudian.Aku tidak menjawab. Gengsi mengakui iya, lalu tidak mau juga
berbohong. Kemudian ia tertawa.
“Kau mau tahu
yang plekmatis?” Tanyaku memotong tawanya. Dia mengangguk.
“Dia adalah
orang sok kuat diantara jenis manusia yang lain. Mereka menganggap menceritakan
masalah pada orang lain tidak pernah menyelesaikan masalah. Atau ia hanya
ketakutan membebani orang lain. Ia dingin, dan gelap. Seperti stalaktit atau
stalakmit di gua es. Susah sekali membaca mereka.” Aku melirik Salman, ia diam.
Tangannya mengurut tepian meja semen di depannya.
“Lalu..”
Lanjutku. “Orang – orang di sekitarnya terlambat menyadari perasaan di hati
kaum plekmatis.”
Salman diam,
tangannya masih mengurut meja marmer di depannya. Udara semakin menggigit.
“Meksipun dahulu aku sering meragukan keilmiahan psikologi, ilmu kalian selalu
ada gunanya.” Dia lantas tersenyum, aku juga.
“Pernahkah
kau menyukai seseorang Salman?” Aku tidak tahu datang dari mana pertanyaan itu,
yang kusadari dia muncul begitu saja ketika aku membuka mulut. Salman menoleh.
Guratan jari di meja marmer ia hentikan. Menatapku sejenak.
“Kau tahu,
rasa yang paling menakutkan adalah ketika kau menyukai orang lain. Kau benar,
orang plekmatis selalu merasa hati mereka terlalu berharga untuk dibagi dengan
orang lain, namun nyeri – nyeri muncul ketika kau tak melalukannya, tak membagi
hatimu, hingga kemudian kau memutuskan untuk merelakan separuh hatimu benar – benar dimiliki orang lain.”
“Jawabanmu
itu berarti, kau pernah menyukai orang setidaknya. Hahaha….akhirnya aku tahu
kalau kau normal.” Tawaku tertahan dengan kalimatku, Salman diam. Merasa tidak
ada yang lucu.
“Aku adalah
sebagian dari manusia di planet ini yang percaya bahwa cinta adalah sesuatu
yang bisa ditumbuhkan, bahkan bila awalnya terpaksa dengan sangat
kemunculannya. Suatu saat ia tetaplah cinta. Cinta yang kau raih dengan
belajar, lalu mengerti bahwa keistimewaan seseorang itu kadangkala amat
tersembunyi.”
Sore itu aku
mendapat pemahaman baru tentang cinta dari teman yang kukira tak pernah jatuh
cinta karena hatinya beku. Ya, keistimewaan seseorang kadangkala amat
tersembunyi tempatnya, kita butuh waktu untuk menyelami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar