“Bukan
kah hidup hanya tentang dua.”
“Dua?”
Aku menoleh, wajahnya takzim menatap langit sore Paddington, di sana
burung gereja riuh bercicit, mungkin itu nyanyian pulang mereka.
“Ya,
dua. Satu mengambil kesempatan, yang lainmelewatkannya.”
“Bukannya
tiga?” Jawabku cepat, bahkan tanpa terskenario otakku.
“Tiga?”
Ia balik bertanya, matanya masih tertuju kerumunan burung gereja.
“Sisanya
adalah penyesalan. Adakah sesuatu yang lebih kita sesalkan selain
kesempatan emas yang terabaikan.” huff…
Ia
menoleh ke arahku, mungkin terkejut dengan jawabanku. Aku bukan tipe
filsuf sepertinya. Dan teorinya hari ini terevisi olehku. Ini aneh
memang, aku juga bingung.
“Dan
yang lebih menyedihkan, kau tak pernah peka tentang sesuatu bernama
kesempatan itu.” tambahku.
Hhhh….Ia
tergelak. “Kau punya bakat berfilsafah.” Katanya kemudian, “Aku
bahkan tidak terpikir tentang hal ke-3 itu.”
“Karena
kau belum pernah merasakan teramat menyesali sesuatu.” Jawabku ragu
kemudian takut. Takut umpan balik yang akan ia berikan. Takut aku
akan membeberkan sesuatu yang kurahasiakan.
Tapi
ia hanya diam, aku juga. Kami sibuk dalam pikiran masing – masing.
“Kau
akan tidak akan pernah menyesalinya lagi jika kau memiliki sesuatu.”
“Apa
itu?” seperti biasa, aku selalu terpancing untuk bertanya.
“Keyakinan.”
Ia masih memandang burung gereja yang kini tinggal beberapa. “Jika
kau yakin pada Tuhanmu, Ia kan memberitahumu radar kesempatan itu. Ia
akan membuatmu begitu cemas jika tak memedulikannya. Bahkan Ia akan
mengatur cara, agar kau bisa mengambilnya dengan jalan terbaik. Kau
tahu apa yang sangat membuatku ketakutan?”
“Apa?”
“Ketika
aku tak mepertimbangkan Tuhan dalam memilih.”
Kali
ini aku yang hanya diam, ia terus bergeming, entah tentang apa. Aku
sudah sibuk merutuk beberapa hal di masa lalu.
Blitar, 22:45 17072013
Aku punya rencana, tapi rencana Allah lebih baik untukku :')