Rasanya
mungkin sama seperti Plankton, ketika ia tertangkap saat mencoba mencuri
crushty crab dan diperolok oleh semua penduduk bikini bottom. Atau sama seperti yang dirasakan Squidward saat
semua orang memilih pulang dari
pertunjukan sexophonenya. Atau mungkin seperti yang digambarkan dalam iklan
good day cappuccino, memakai baju yang sama persis dengan orang lain saat di
pesta. Oh mungkin tidak se-lebai itu. Sulit menemukan kalimat yang tepat untuk
menggambarkan. “Malu sampai ke ulu hati” itu belum cukup mewakili. “Kulo tiang
cinten, mbak e Jawi nopo cinten.” Oh begini awal ceritanya, pagi itu saya dalam
perjalanan kembali ke Surabaya, karena mengejar waktu saya putuskan untuk
menggunakan bus. Seperti biasa, bus dari luar kota selalu tidak dapat memasuki
Surabaya, “PLN Pak,” begitu kata saya pada pak Kernet yang sesaat kemudian
mengetok – ketok besi menggunakan koin dan bus pun menepi. Perjalanan ke
Surabaya saya lanjutkan dengan mengunakan bus Ijo jurusan Mojokerto-Surabaya.
Bus ini istimewa karena mendapat hak memasuki kota Surabaya. Singkat cerita
saya duduk di bangku nomer dua dari belakang, di samping saya seorang bapak –
bapak. Karena saya suka mengobrol, terjadilah perbincangan di antara kami.
“Kuliah
dimana dek.”
“Unesa, Pak.”
“Ngambil
jurusan apa.”
“Psikologi.”
“Ini
sendirian. Dulu SMA mana.”
“iya sendiri,
saya dari Blitar Pak, dari SMA Srengat.”
Kami tetap
mengobrol tanpa mamandang satu sama lain.
“Ooh…SMA
Srengat, saya tahu itu, dahulu itu sekitar tahun 80an saya pernah di Wonodadi.”
“Ohya Pak, waah
iya itu Srengat timurnya wonodadi.” Jawab saya dengan sedikit bumbu – bumbu
nada surprise.
“Iya…mungkin
kamu masih kecil itu waktu saya di sana, kamu kelahiran tahun berapa.”
“92, belum
pak masih jauh.”
“Waah masih
kecil ya ternyata. Kalau tahun 92an saya sedang di Prancis. Kuliah disana.”
“Waah di
Prancis, hebat dong Pak. Beasiswa atau biaya sendiri.”
“Beasiswa
dari Konsulat di Surabaya sini. Saya coba – coba saja, dan ternyata lolos.”
“Gimana pak
caranya, saya jadi berminat.” *mupeng
“Kamu bisa
bahasa asing apa saja?” *Dieeng !!! pertanyaannya loo
“uummm
English, tapi masih lemah.”
“Waah kamu
harus banyak berlatih, kamu tahu saya bisa berapa bahas, saya bisa Inggris,
Prancis, China, Yunani, Latin, Itali, Belanda.” Tawa bapak itu tergelak
entahkarena apa. “Oh bahasa Indonesia, Madura, Jawa.” Lanjut beliau, Sesaat
kemudian bapak itu berucap “Blab la blab la bla wes hewes hewes hewes. Kamu
tahu apa yang saya bicarakan.” Malu tidak malu saya menggeleng. “Waah kamu, ini
bahasa jawa. Kulo tiang cinten, mbak e Jawi nopo cinten.” Bagian ini yang
membuat saya maluuuuuuuuuuuuuu dengan U sepuluh kali pun tak cukup mewakili
betapa malunya. Jelas – jelas saya berkulit cokelat tua dan mata yang jauh dari
kata sipit. Saya pandang sebentar bapak sebelah saya, mata sipit tertutup
kacamata, sedikit gendut dan berambut hitam putih. Sebenarnya saya suka
bercakap – cakap dengan bapak tersebut, namun sayang, beliau turun tak lama
kemudian.
Bukan apa –
apa, entah kenapa, ada beberapa hal dari orang China yang membuat saya menjadi
kagum. Setahun lalu saya bekerja dengan memberi les akutansi ada seorang anak
China bernama Yonathan, Jo –begitu panggilan yang Yonathan minta- adalah siswa
kelas 11 di SMA Frateran di Surabaya, ketika itu kami belajar pembukuan pada
kertas kerja, dia memiliki beberapa kertas kerja siap pakai yang ia beli dari
Koperasi sekolah, sehingga untuk latihan tanpa pikir panjang saya langsung
menyuruhnya menggunakan kertas kerja siap pakai itu, “Loh kenapa tidak pakai
kertas kosong ini saja mbak,” tolaknya “Kan sudah ada yang bergaris, biar
efisien waktu.” selain itu saya malas menggaris pikir saya. “Loh ini kan mahal
mbak, belinya pakai uang saya sendiri pula.” Ia tetap bersikokoh menulis pada
kertas bekas yang baliknya tak terpakai. “Mahalnya berapa sih, Jo.” Jawaban
konyol saya yang beberapa saat kemudian saya sesali. “Ini satu lembarnya
1.250.” “Halah seribu duaratus tok aja lo.” Jawaban saya entah kenapa terlihat
semakin konyol .” “Seribu duaratus lima puluh tok, itu kan uang. Ini kan Cuma
latihan.” Inilah yang orang – orang jurusan bahasa Indonesia sering sebut
dengan –termakan omongan sendiri- dan saya hanya diam untuk menutupi rasa malu.
Lain
Yonathan, lain Nixson, Ia siswa kelas 2 SDK Karitas Surabaya. Chinese tulen
tapi saya rasa mamanya meminum obat anti mata sipit ketika hamil sehingga
Nixson tidak sipit sama sekali. Wajahnya selalu menarik orang lain untuk
mencubitnya. Yang membuat saya uring – uringan, Nixson selalu mengucapkan kata
– kata aneh yang membuat saya sulit menemukan jawaban yang tepat. “Mbak, kenapa ayam tidak mempunyai
selaput seperti bebek, mereka kan sama – sama unggas. Gimana kalau ayam juga
ingin renang” atau “Terkadang kentut kita bau, terkadang enggak, itu kenapa sih
Mbak.” atau ketika setelah saya menemukan jawaban yang saya rasa sangat
diplomatis ia akan memberi umpan balik dengan .”Mbak yakin itu jawabnya,” atau
“Mbak tahu itu darimana soalnya kata Kokoku……kata Ceceku …….”
Nixsooooooooooooon.
Saya
menemukan banyak jawaban mengapa orang China menjadi seperti itu setelah
membaca sebuah karya Amy Chua yang berjudul Bettle Hymn of The Tiger Mother.
Anak China di didik untuk menjadi Nomer 1, sekali lagi Nomer satu bukan nomer
dua. Tidak boleh ada nilai A minus, semua harus A. Tidak ada jadwal bermain dan jalan – jalan ke
mall. Saya banyak manarik napas ketika membaca cara Amy membesarkan Luisa dan
Shopie dengan ala Ibu China di Amerika, tapi seolah saya pernah mengalami apa
yang dirasakan Lulu dan Shopie. Hanya dalam hal yang berbeda, ketika orang tua
saya menyuruh saya dengan membayar dengan uang sepuluh ribu agar saya tidak
pernah membuka jilbab di depan umum ketika saya masih sekolah dasar, atau
mewajibkan mengikuti kajian mingguan ketika saya masih SMP, wajib bukan sunah
mu’akad, melarang menggukan celana yang sering saya langgar ketika SMA dan
memasukkan saya pada Asrama Putri muslim ketika saya kuliah. Ya itulah cara
orang timur mendidik anak. China, Indonesia. Hanya kita terkonsen pada hal yang
berbeda. Dan saya merasakan benar – benar menjadi anak timur ketika dalam hidup
saya hanya memilki sedikit pilihan. Tapi sepertinya saya terlahir sebagai
Shopie bagi Amy, karena saya tidak suka memberontak seperti Lulu. Dan dengan di besarkan seprti itu, saya
mulai menyukai aturan.
Saya akan
sulit menjawab ketika ditanya, apa tema tulisan kali ini. Saya tidak tahu. Saya
hanya ingin berujar, bercuap – cuap. Karena ketika menulis ini, pikiran saya
sedang tidak enak. Saya baru saja bertengkar dengan ibu saya gara – gara saya
salah menempatkan baju adik saya ke dalam lemari ibu saya. Rupanya ibu saya
memiliki jiwa ibu China, kesalahan tetap di sebut kesalahan, sekecil apa pun
bentuknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar