“Makasih
ya Hil. dadaaah” Seperti biasa, Irene selalu mengucapkan kata yang sama ketika
mengantarkanku pulang. Senyum sekilo gula di bibir tipisnya tak lupa ia
kembangkan. Allamaak manisnya…Astagfirullah.
Masih
kupandangi Juke putih itu hingga benar – benar menghilang di tikungan pertama.
Udara sore itu tak begitu dingin, tapi begitu menyegarkan di sini, di daerah di
dalam dadaku, sungguh apa ini namanya.
Si Mbok tampak
merengut kurang suka, diletakkannya secangkir kopi di atas meja tanpa melihatku,
beliau memang tak mengeluarkan kata – kata omelan. Tapi bisa kurasakan, hal itu
berarti ada yang tidak menyenangkan hatinya.
“Kamu harus tau
diri Le, jatuh dari bulan itu sakit, jaga jarakmu sama gadis konglomerat itu,
kamu sama dia itu sama artinya si cebol merindukan bulan,GAK PANTES.”
Kata kata itu berkali – kali
diucapkan si mbok. benar – benar halus tapi mengiris - iris telinga, lebih
tajam dari silet, memang barang sekali pun si mbok gak pernah ridho jika aku,
anak lelaki satu – satunya, pemimpin keluarga, dekat dengan Irene.
Irene. Gadis
kristiani yang ku tau berhati emas, berlian atau bahkan permata. Kebetulan atau
memang takdir Allah, rumah kami sejalur dari kampus, sehingga mau gak mau, malu
gak malu, aku gak bias nolak saat dia bilang suruh nyopirin mobilnya, mesti aku
tau maksudnya bukan hanya itu.
Mata lelaki normal mana yang melihat
Irene tak cantik, darah Indo-Belanda menyatu di tubuhnya membuat kulitnya
sebening kaca, jarak alis dengan matanya menyala sempurna, tingginya lima senti
di atasku. Kabarnya dia pernah menjadi pemenang gadis sampul entah edisi kapan,
dan aku hanyalah lelaki miskin yang berpenampilan biasa yang setiap hari
mendapat kesempatan duduk di kemudi mobilnya, mengantar sang bidadari kemana
pun maunya. Bukan sebagai sopir karena juga kadang dia yang menyetir, bukan
sebagai sopir karena Irene yang datang ke rumah menjemputku. Kalau pun dianggap
sopir tak papa lah…
“Aku nggak
maksud jadiin kamu sopir Hil, aku cuma butuh teman. Yang bisa buat candaan
bareng, ngerjain tugas bareng. Kamu jangan salah ngertiin ya, karena hanya kamu
yang bisa buat aku nyaman.” Sungguh beberapa kata itu berhasil mengobrak –
abrik tatanan hatiku, mencerai berainya hingga sulit aku menatanya kembali. Aku
tidak ingin terlalu ge-er, tapi memang inilah yang kurasa.
Tapi
itu semua dulu, dulu sebelum ia bilang sesuatu yang membuat jantungku seolah
benar - benar naik hingga tenggorokan dan ingin meloncat keluar. Masih jelas di pikiranku, saat gerimis waktu itu
Irene bilang, “Hil, aku sayang kamu.” Dan sejak itu aku selalu sengaja menjaga
jarak, aku takut aku bilang iya, ku harap Irene tak merasa perubahan sikapku,
meski itu peluangnya kecil. Sebenarnya yang membuatku ragu bukan perbedaan
meteri kami, bukan si mbok, bukan pula fisik kami, tapi keyakinan kami, aku
muslim tulen, dan Irene adalah kristiani. Itu lebih dari perbedaan bumi dan
bulan seperti yang dimaksudkan si mbok.
*******
Huffft....Udara Kota Blitar sore ini benar
– benar tak seperti biasanya, lebih menggigit dan menusuk tulang, dingin
sekali. Kulangkahkan kakiku pelan menyusuri koridor kampus menuju ruang Rohis. Melewati
parkir mobil sepintas kulihat Juke Putih milik Irene. Dia belum pulang, sudah sesore ini, kasihan sekali.
Kalau saja hari ini adalah dulu, pasti aku sedang duduk di sampingnya, membantunya
menyelesaikan tugas. “Hilman....kamu belum pulang,” suara dari lorong
perpustakaan menolehkan pandanganku. Irene melemparkan tatapan seperti biasa,
anggun tapi jelas tak dibuat - buat, “Kamu..juga belum pulang.” Perkataanku terasa
canggung. Sebenarnya hatiku ingin mengatakan, mau aku antar pulang, tapi kata –
kata itu sarat di kerongkongan. “Kamu gak ingin, mengantar aku pulang?” Irene
seperti membaca pikiranku. Aku seperti di tusuk pertanyaannya, “Maaf Ren, hari
ini aku ada rapat rohis, kamu bisa kan pulang sendiri. Aku duluan ya, sudah
ditunggu anak – anak.” Secepat mungkin kubalikkan badan. namun, “ Bukan rapat
rohis Hil alasannya, tapi kamu sengaja menghindar karena takut aku bilang ingin
jadi pacar kamu kan?” suara Irene lantang dan lepas, matanya berkaca, sungguh
Gusti aku gak kuat melihatnya seperti itu. “Maaf Ren, aku benar – benar buru -
buru.” Kupacu kakiku berlari meninggalkan Irene, aku takut dia bertindak lebih
berani.
*******
Malam ini sedetik pun mataku tak bisa
terpejam, bayang - bayang Irene semakin nyata, perkataannya tak ada sepuluh jam
yang lalu masih terdengar, berkali – kali aku coba sholat, tapi malah tak
khusyu, mataku terasa pedas. Entah apa yang kurasakan, jatuh cinta, patah hati
atau malah benci. Semuanya yang pernah terjadi antara aku dan irene teringat jelas,
makan mie kuah di gank mangga, mencari materi secara sembunyi - sembunyi untuk
makalah perbaikan saat hujan deras malam jum’at di perpustakan, bahkan menyapu
dan mengecat pagar belakang kampus gara - gara merusakkan buku perpustakaan tiga kali
berturut - turut. Irene, aku tak mau menyakiti hatimu jika aku bilang tidak
padamu, tapi semua tampak tergaris lurus, kita tak sepaham, itu yang jelas
beda. Bagaimana pun aku tak mungkin pura – pura tak mengerti tentang ini, aku
takut jika kita mengawali akan terbunuh diakhirnya. Tapi di sisi lain memang
tak bisa ku sangkal, kebaikanmu selama kurun waktu hampir setahun ini berhasil
memporak porandakan hatiku. Tentu banyak yang akan menentang jika kita bersama,
ayahmu, si Mbok, dan juga apa kata anak – anak Rohis jika ketuanya berpacaran,
dengan gadis kristen pula. Ahh....Ini begitu membimbangkan. Irene, seandainya
aku bilang tidak pun bukan hanya kau yang tersiksa, tapi lebih besar pada
batinku.
*******
Pagi ini mataku sembab, rasanya aku malas
bangun, ingin tertidur dan tertidur. Tapi teriakan si mbok membuat telingaku
mendengung, Telat berangkat kuliah akan mengurangi setengah ilmu kita, kata si
mbok, ya aku nurut saja. Sampai di kampus tak banyak yang bisa kukerjakan, seperti
firasatku, materi Filsafat Pancasila kosong. Kugunakan menyendiri di
perpustakaan. Perpustakaan cat hijau itu tampak sunyi, hanya petugas yang masih
bersih – bersih menyapaku mantap. Kucari bacaan penghibur hati tapi hasilnya
nihil, tak ada yang mampu mengalihkan pikiranku.. Akhirnya aku hanya duduk
mematung menghadap arah jendela kaca.
Sampai mata kuliah selesai hanya
kuhabiskan di perpustakaan, tiba - tiba aku
muak dengan keramaian. Hatiku benar – benar tak berkompas,kalau boleh
meminjam istilah ternyata benar cinta memang bukan segalanya, tapi kehilangan
cinta seperti kehilangan segalanya. Aku tak boleh larut seperti ini. Semua
harus dijelaskan. Aku akan bilang iya atau tidak. Meski semua akan perih. Aku
harus mencari Irene. belum sempurna aku berdiri.DEG. Tanpa kucari dia yang
datang.
“Hil, aku mencarimu.” Matanya tenang meski
bicaranya mantap.
“Aku juga.” Jantungku mulai berantakan.
“Apa yang
ingin kau katakan?” Dia masih berdiri .
”Kau tau apa yang akan ku katakan.” Aku bingung
memulainya.
“ Tidak, aku selalu tak bisa menebak hatimu. Apa?”
Tantangnya. Aku menunduk semakin dalam.
“Ren, kedekatan kita akhir – akhir ini, kebaikanmu,
sudah berhasil...berhasil membeli hatiku, aku ingin bilang, aku juga
mencintaimu. Tapi semua tak mungkin, secara materi kita berbeda, tapi lebih
dari itu, kita tak sepaham tentang kepercayaan.” Kataku memelan mengakhiri
kalimat, aku tak berani menatap Irene, Berdetik detik kita terdiam. Tanpa
suara, hanya riuh dari pengunjung lain yang terdengar. “Semua ini gak adil Hil,
apa karena itu kamu mengorbankan perasaan kita.” Suaranya parau, nyaris tak
terdengar. Aku kuatkan diriku. “Ku mohon mengertilah Ren, kau akan dapatkan
terbaik, percayalah.” Aku menyabar – nyabarkan haiku yang memerih mendengar
isakannya. Irene menarik nafas panjang. “Aku harap kamu benar. Maafkan aku jika
telah mengganggumu.” Irene berkata sepintas lalu berlari meninggalkanku yang
terpaku. Tak bisa kubendung airmataku menitik, tak peduli dikata cengeng, tapi
perasaanku benar – benar hancur.
************
Kulangkahkan kaki menyusuri jalan batu
dari perpustakaan menuju masjid kampus, dinginnya udara ruangan masjid semakin
menyesakkan dadaku. Masih berkelebatan bayangan perempuan yang beberapa jam
yang lalu menangis di hadapanku. ya Rabbi, ampuni hamba-Mu yang hina ini.
“Kang Hilman kok telat, dari mana?” Yanto, adik
angkatanku menjabat tanganku. Semoga tak terbaca kesayuanku olehnya.
“Dari perpus To, sudah lama mulai kajiannya?” Aku
segera duduk di sampingnya.
“Barusan Kang, sekitar sepuluh menit yang lalu.”
Ustad Khudaibi seperti berhasil menyihir ruangan
ini, hingga semua tampak diam mendengarkan.
“Sungguh telah jelas digariskan, jika kamu tak
mampu. Jangan pernah merasa mampu, jangan merasa imanmu sudah benar – benar
kuat dan tidak akan bengkok, sungguh dalam sebuah bahtera rumah tangga itu
tidak hanya cinta, tapi persamaan – persamaan diantara keduanya. Apa salah satu
persamaan itu? yaitu cinta kepada Allah. Sungguh itulah yang kan abadi. Kalau
ingin mempunyai cinta yang abadi,cintai lah sesuatu yang abadi.”
Jledekk...Splasss.....Ada semacam tiupan kencang
pada hatikuku. Aku seperti telah mengadukan sesuatu dan ustad Khudaibi
menjawabnya. Dan aku yakin, ini adalah salah satu bentuk penguatan Allah,
Ampuni aku ya Allah. Karena aku merasa kuat padahal aku tau imanku sangat
lemah. Ampuni aku telah mencoba bermain dengan sesuatu yang kau larang.
Terima kasih ya Allah karena Engkau telah
menjaga hatiku. Kini tak kuragukan lagi keyakinanku. Karena rezeki,umur, dan
jodohku adalah urusanmu. Maafkan aku Irene, jika kita jodoh pasti akan ada cara
yang lebih indah. Namun saat ini, laa kum dinukum waliyadien.Untukku agamaku
dan untukmu agamamu.
“Kini aku tau kemana harus pergi, ke arahMu ya
Allah”
Blitar, Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar