Ada
hal yang sukar kujelaskan. Sekarang saat usiaku bukan kanak-kanak lagi. Aku
malu untuk menelponmu lalu mengatakan selamat hari Ibu dan mengirimkan
bingkisan seperti yang biasa kulakukan tahun-tahun sebelumnya. Aku malu begitu
saja, karena tiba-tiba aku sadar. Jangan-jangan bukan hal itu yang sebenarnya
kau harapkan dariku, bukan sekedar bingkisan berisi jilbab atau kalimat sayang
melalui telepon. Ada sesuatu yang pasti kau sembunyikan dari setiap anggukanmu
atas setiap permintaanku, ada harap disana. Kau ingin melihatku melakukan hal
yang membanggakan hingga dengan itu kau akan menangis bangga dan mengatakan
“Dia anakku. dia anakku.”. Tapi kau diam Ibu, kau tak mau membebaniku dengan
inginmu. Sehingga terkadang, ketika aku gagal kau akan tersenyum lalu
mengatakan “Tidak apa-apa, lain kali pasti bisa.”
Ibu,
saat ini aku hanya mampu berucap maaf. Atas banyak salahku mengecewakanmu. Atas
kurang usahaku membanggakanmu. Maaf Ibu. Terimakasih untuk segalanya. Meski
tanganmu sekarang tak sekuat dulu. Meski rambutmu memutih. Bagiku, kau lebih
besar dari apa pun, dan lebih kuat dari siapa pun. Selamat Hari Ibu.
Ini berawal
dari keterpesonaan pada sepak terjang coach Grant Taylor dalam melatih tim Eagles
menghadapi tim Giants dalam film Facing the Giants. Caranya
menyemangati Brock yang mudah menyerah itu menjadi tangguh, menyemangati David
yang pemalu menjadi penendang handal. Kepercayaan diri dalam membawa klub yang
kurang ternama melawan juara bertahan dalam pertandingan American Football. Dia
selalu bilang “ What is Imposible in God”Apa yang tidak mungkin untuk Tuhan?.
Kemudian
pertengahan November kemarin, teman saya Yosua mengirim BBM tentang seminar
Psikologi Keluarga di UIN Malang, itu berarti di kampus sahabat saya si Ayin
(jadi bisa nebeng nginep maksudnya). Pucuk dicinta ulam tiba, sempurna bulatlah
tekat saya untuk mendaftarkan diri ke acara itu.
Sabtu kemarin
(7/12) bersamaNisa, Dila, Akbar dan
Wisma, saya akhirnya benar-benar datang ke kota Malang. Singkat ceritanya
setelah melalui beberapa acara pembuka, munculnya sosok Indra Sjafri (Head
Coach TIMNAs U-19) dan Guntur Cahyo (Coach Mental), sayang sekali sang kapten,
Evan Dimas tidak bisa datang karena masa karantina.
olahraga.plasa.msn.com
First sight
buat Coach Indra adalah serem, apalagi kumisnya. Kayaknya galak gitu aja
bawaannya. Tapi begitu beliau ngmong, woooh tersulap sudah gedung sport
center UIN Malang jadi macam gelora sepuluh November saat Bonek bertanding.
Semangat cetar membahana badai. Bapak-bapak yang duduk di depan saya sampai
mengepal-kepalkan tangan gaya bung tomo pula. Merinding memang mendengar setiap
kalimat Indra Sjafri. Yah, pantas lah jika U-19 bisa lolos sampai piala Asia.
Coachnya macam ituuu.
“Saya
bertekat membawa Indonesia ke piala dunia, kita memilih MIMPI kelas dunia.
Karena itu, usaha keras yang harus kita bayar adalah standart dunia.”
Beliau sih, berkatanya biasa aja sambil duduk dengan wajah datar pula. Tapi
seperti ada energi positif dari kepercayaan diri beliau. Jadi beliau bercerita (tetap dengan wajah
seremnya) bagaimana jatuh bangun membangun kekuatan tim nas u-19 hingga bisa
berjaya seperti saat ini. Menurut penuturan beliau, ketika ditunjuk sebagai
pelatih timnas u-19 beliau sudah disodori pemain-pemain. “Pemain-pemain
kota titipan para pejabat.” Begitu beliau menyebutnya yang kemudian
beliau tolak mentah-mentah. “Saya tidak mencari tukang tendang bola, tapi
seorang pemain yang sekaligus menjadi panutan nasional, bisa menjadi contoh
masyarakat Indonesia.” Sambung beliau yang disambut riuh tepuk tangan
panjang.
Karena tekat
itulah beliau harus mencari sendiri bibit-bibit unggul sendiri, dengan dana
yang terbatas dari pemerintah sehingga sering menggunakan dana pribadi, tidur
di hotel berdesak-desakan bagi tim beliau, itu bukan masalah. “Mau ada duit,
mau tidak ada duit, mau makan atau tidak makan, kami menginginkan yang terbaik
untuk bangsa ini.” tutur beliau.
Saya melihat
sendiri dalam diri beliau memang terpancar energi positif yang penuh percaya
diri. Ada kalimat menarik yang beliau katakana, begini rekanya :
Ada seorang
wartawan bertanya pada Coach Indra pasca kemenangan melawan Brunei
Wartawan : Bagaimana
Coach, apakah Indonesia nanti bisa samai Korea Selatan?
Coach Indra :
Jangankan samai, Indonesia BISA kalahkan Korea Selatan. Lihat saja
Nanti.
……….
“Banyak
orang yang kemudian bilang, Indra Sjafri congkak, sombong, sesumbar. Tapi
biarlah. Namun, di sisi lain saya juga takut. Saya khawatir, bagaimana kalau
ternyata Indonesia tidak menang, akhirnya malam-malam selepas shalat saya
berdoa sama Allah, Ya Allah, Bagaimana ini ya Allah, saya sudah bilang pada
mereka Indonesia akan menang melawan Korea Selatan, Bagaimana ini, kalau tidak
menang saya pasti akan malu ya Allah, saya mohon bantulah kami. Sesudah itu
saya lega, saya pasrahkan semua kepada Tuhan, biar Dia yang menentukan, saya
yakin Tuhan di belakang saya.”
Begitulah
Indra Sjafri, hatinya ternyata tak seseram mukanya (peace Coach ^^v). Dibalik
ketegasan pada raut mukanya ada tangisnya di hadapan Tuhannya. The core point
dalam segala hal (baik itu olahraga atau apa pun) “Yakinlah bahwa Tuhan di
belakang kita.”